Baru saja, kita di pertontonkan kisah pilu 2 korban siswa SD yang mengalami resiko sangat buruk dan harus menaggung perbuatan seumur hidup akibat perbuatan teman temannya di sekolah. Karena kondisi fisik dan jiwa tidak seperti dulu lagi.
Hal ini terjadi pada siswa SD FAA di Tambun Bekasi, yang seringkali di selengkat teman temannya, berulang ulang, sekian lama, dan memicu kanker tulang. Berujung selengkatan itu menjadi amputasi kaki. Kemudian peristiwa anak SD di Sukabumi, yang dikagetkan oleh kesengajaan posisi teman temannya, dengan di dorong dan terjatuh dengan posisi yang bisa di tertawakan, padahal menyebabkan trauma patah tulang.
Situasi ini, juga pernah dilaporkan ke KPAI, seorang anak SD yang bercanda dengan teman teman di rumah, yang kemudian di dorong, terjatuh pada posisi yang tidak diinginkan, kesakitan korban menjadi bahan tertawaan, dalam kondisi lemah korban, ia berdiam diri atas nasibnya, pelan pelan mulai menjauhi lingkungan, karena merasa berbeda atas kondisi tangannya. Sekarang anak mengalami gangguan gerak, yang menurut dokter jika tidak di operasi akan semakin buruk.
Dalam keterangan orang tua menyampaikan sudah 4 tahun tulangnya bergeser. Sudah di scan dan dinyatakan ada tulang tumbuh, yang hanya bisa di sembuhkan dengan tindakan operasi yang memakan biaya tinggi, sehingga lama terbiarkan. Situasi ekonomi yang tak menentu keluarganya, menyebabkan anaknya harus menanggung seumur hidup atas kondisi tangannya.
Seringkali becandaan anak anak di anggap suatu hal yang wajar, sehingga bila terjadi peristiwa buruk, dianggap hal lewat begitu saja, dan tidak di permasalahkan. Justru beberapa orang tua memarahi anak mereka, mengancam anak mereka, karena pulang dengan menangis ke rumah. Sampai ada istilah perkataan “awas kalau nangis, tidak usah pulang” atau “kalau mau main, gak usah nangis”. Sehingga kekerasan yang dialami dari bencandaan mereka, tersembunyi. Bahkan di peristiwa ini, sekolah, anak dan guru melakukan manipulasi pada korban, sehingga mau mengikutinya. Sehingga sikap bencadaan yang membawa petaka itu mendapat pembenaran berlapis. Yang membuat orang tua korban geram kepada para pelaku, guru dan sekolah.
Latar belakang apa anak anak melakukan itu, dan menganggap hanya sekedar guyonan atau becandaan, sehingga tidak merasa bersalah. Bahkan kekerasan bertopeng becandaan itu, dianggap anak, sekolah dan orang tua pelaku bukan hal penting.
Dalam pengalaman mengungkap kekerasan ditengah becandaan. Seringkali para pelaku melakukan pembenaran berlapis, seolah olah kesalahan hanya di timpakan kepada korban, seperti dianggap memang lemah, tidak kuat, cengeng, keluarga miskin, dianggap memiliki kekurangan fisik atau jiwa, menjadi stigma yang terus berkembang. Meskipun dianggap becandaan, namun memang kekerasan biasa menyasar yang dianggap lemah. Sehingga becandaan dengan kekerasan juga mengincar mereka yang posisinya dianggap lemah.
Seiring becandaan ini digugat banyak pihak, seiring itu pula pembenaran semakin keras di teriakkan anak, keluarga dan sekolah. Agar semua pihak yakin, penyebabnya adalah korban itu sendiri, Sehingga Semakin di gugat, akan semakin keras pembenaran perilaku, untuk lari dari tanggung jawab.
Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan dalam lingkungan satuan pendidikan di Indonesia. Dimana setiap peserta didik mendapatkan payung perlindungan dalam pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Begitupun semua yang bekerja di sector pendidikan, termasuk pengajar dan manajemen yang ada di sektor pendidikan di beri payung perlindungan dalam bekerja.
Begitupun hasil Asesmen Nasional kepada para peserta didik di tahun 2022, menyatakan 34,51% peserta didik atau 1 dari 3 peserta didik mengalami kekerasan seksual, kemudian 26,9% peserta didik atau 1 dari 4 peserta didik mengalami hukuman fisik, dan 36,31% peserta didik atau 1 dari 3 peserta didik telah mengalami perundungan.
Temuan ini juga dikuatkan dengan hasil dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (2021) yang menunjukkan sebanyak 34% atau 3 dari 10 anak laki-laki dan 41,05% atau 4 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya.
Artinya kalau melihat hasil asessmen ini, maka tren peristiwa kekerasan di sekolah justru akan terus menaik, sampai benar benar Permendikbudristek ini benar benar efektif dijalankan, Dimana ada mandat dan tanggung jawab berat pendidikan memiliki tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK), yang mampu menghadirkan tim TPPK yang mumpuni; melakukan asesmen awal anak sejak mulai mendaftar sekolah; memiliki kode etik bekerja dengan para korban, saksi dan pelapor, dalam rangka menghadirkan rasa aman, nyaman, dan terlindungi; pencegahan dimulai sejak dini; sosialisasi; memiliki alur kerja; penanganan cepat; manajemen kasus dengan melibatkan professional; manajemen rujukan yang handal; dalam menekan seminimal mungkin peristiwa seperti tersebut diatas, berulang kembali, terutama dampak kepada yang telah menjadi korban. Karena bagaimanapun korban akan menjalani proses pendidikan yang panjang, korban tetap memiliki cita cita, sampai pendidikan yang paling tinggi dalam menjemput hak hak nya di masa depan yang telah hilang saat menanggung panjang dari kekerasan.
Kalau kita lihat di aturan Permendikbudristek yang baru disyahkan ini berbagai bentuk ragam kekerasan, terbagi sangat rinci, hanya untuk becandaan yang berujung mala petaka, perlu di definisikan kembali dalam jenis kekerasan, atau dimasukkan dalam bentuk kekerasan lainnya, sebagaimana yang sudah masuk dalam regulasi ini. Yang meliputi kekerasan fisik; kekerasan psikis; perundungan; kekerasan seksual; diskriminasi dan intoleransi; kebijakan yang mengandung kekerasan; dan bentuk kekerasan lainnya.
Memang datangnya kekerasan, seperti becandaan yang berujung pilu dan malapetaka ini, sudah menjadi kajian tim saat membentuk peraturan ini, sehingga apa yang terjadi hari ini, meski di sebut becandaan, namun masuk sebagai kekerasan yang dilakukan secara fisik, verbal, nonverbal, dan/atau melalui media teknologi informasi dan komunikasi. Bahwa juga di akui tren bercandaan berujung kekerasan, juga banyak di ikuti anak melalui media social mereka, dengan mempraktekkan tertawaan itu kepada teman temannya.
Yang juga jadi catatan, para anak yang menjadi pelaku kekerasan dalam becandaan, juga menyampaikan melakukan itu, karena sudah bosan dengan berbagai hambatan belajar yang dialami. Sehingga pilihan becandaan dengan kekerasan menjadi hiburan anak dalam relaksasi hambatan belajarnya. Yang ini juga harus di luruskan, dalam anak memahami dunia belajar dan hambatannya. Sehingga hambatan tersebut menjadi berbuah perilaku beresiko yang berujung kekerasan. Yang sebenarnya bila di perdalam situasi tersebut, karena anak anak tidak menemukan solusi dari hambatan belajarnya, baik di sekolah, rumah dan lingkungan. Sehingga seringkali kekerasan jadi seperti hiburan, yang padahal membawa anak terjebak pada perilaku salah, gangguan fisik, gangguan jiwa, sehingga anak mudah di jerat oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Salam Hormat,
*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515