Cegah Bunuh Diri Anak, Belajar Dari Kisah Jakarta Utara

Peristiwa penghilangan jiwa anak di Indonesia, ditemui dalam berbagai motif, minum obat beracun dalam GGAPA, KDRT, diajak orang tua, dampak kekerasan di rumah dan sekolah. TKP nya pun beragam ada yang dirumah, di sekolah, lingkungan sekitar sekolah dan kamar anak.

Laporan pengaduan kekerasan yang berujung penghilangan jiwa, semua diawali terjadinya di ranah privat. Sehingga anak tidak punya pilihan banyak dalam mengjadapinya.

Penghilangan jiwa di ranah privat adalah tren kekerasan yang terjadi di sekolah dan rumah. Data KPAI menyampaikan memang kekerasan di ranah privat yang tertinggi, yaitu anak anak dari korban konflik orang tua dan keluarga nya dan anak anak yang mengalami berbagai dampak di dalam lingkungan pendidikan.

Seperti peristiwa penghilangan jiwa 4 keluarga di penjaringan Jakarta Utara sampai sekarang belum dapat diungkap Kepolisian. Karena memang tidak mudah ya, ini kekerasan di ranah privat.

Dimana jiwa anak tidak mengerti perlakuan salah, bagaimana mengelola jiwa yang berdampak pada dirinya, apa lagi ranah privat merupakan pelaku atau orang yang paling di percaya anak sebagai korban.

Dari kesaksian penjaga klenteng atas penghilangan 4 jiwa di penjaringan Jakarta Utara , ibunya sempat berdoa.

Artinya ada situasi yang berbeda dari motif biasanya dorongan penghilangan jiwa. Yang biasanya kumpulan emosi yang tidak bisa dikendalikan.

Bahwa Ibu tersebut dapat mengkontrol dirinya. Sehingga mempersiapkan dengan berdoa.

Tentu ini masih dugaan dugaan, dan kalau memang itu niat keluarga, bukan di bawah ancaman. Maka proses doa ini menandakan, adanya perenungan panjang.

Meski kepolisian telah menelusuri keluarga dan saksi saksi, namun sampai sekarang belum ditemukan motif nya.

Namun yang bisa kita tangkap dari peristiwa, adanya penghilangan jejak yang dilakukan dengan sengaja oleh keluarga. Yang didalamnya kuat dugaan, adanya perencanaan dan sangat diperhitungkan. Hanya siapa yang melakukannya, itu yang belum terungkap.

Kepolisian juga sudah menelusuri dari keluarga besar korban dan saksi saksi. Namun masih menjadi misteri latar belakang kenapa dilakukan penghilangan jiwa dengan  mengikatkan tali bersama sama.

Tentu akan banyak pendapat masyarakat dan pemerhati, atas kinerja Kepolisian. Juga akan menimbulkan dorongan untuk membuktikan dengan cara lain seperti menelusuri riwayat transaksi keuangan, perjalanan, riwayat tempat tinggal, riwayat pendidikan anak, riwayat tempat bekerja orang tua. Untuk melengkapi dan lebih mendekatkan temuan temuan yang sudah ada.

Perjalanan kasus ini kenl depan akan banyak tantangan. Tentu bukan proses yang mudah ya. Karena akan melibatkan banyak profesi dan luasnya tempat pencarian.

Sehingga sangat membutuhkan dukungan para pihak dan banyak pihak. Akan panjang dan lama. Karena seperti mengumpulkan puzzle puzzle.

Memang dalam peristiwa tersebut, KPAI menyayangkan situasi anak, yang di tali.

Mereka mendapat perlakuan salah ayah ibunya. Mereka percaya apa yang di lakukan ayah ibunya. Apalagi dikabarkan kedua anak ini sudah setahun tidak sekolah, dan seperti tidak memiliki figur lain, selain orang tua mereka. Sehingga memperkuat kejadian tersebut. 

Kalau ditanya mengapa terjadi penghilangan jiwa pada anak, maka jawabannya sama dengan pertanyaan berbagai fenomena kekerasan anak yang terjadi belakangan ini.

Adalah dimana saat pertama kali di ketahui anak berada dalam keluarga rentan, dimana pertama kali kehadiran pengawasan perlindungan anak di tingkat lokal, saat mengetahui ada anak tidak bersekolah selama setahun, kenapa menjadi keluarga tertutup, kenapa meninggalkan rumah dan kembali tiba tiba.

Disanalah kemudian, terdeteksi adanya perlakuan salah yang menimpa anak anak tersebut. Sayangnya pengasuhan tidak layak tersebut berada di ranah privat yang sulit di tembus, padahal kita tahu anak tidak bisa membela dirinya sendiri. Apalagi situasi fisik, jiwa, pemahaman, emosi belum sepenuhnya dapat memahami perlakuan salah, karena hidupnya masing sangat tergantung orang tua.

Sehingga disinilah kita menyadari, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi di ranah privat.

Untuk itu kunci penanganan berbagai kekerasan di ranah privat, yaitu, membangkitkan dari fungsi terdekat perlindungan anak, menghidupkan ruang ruang yang lain, seperti ruang konsultasi di kehidupan agama, sekolah, keluarga besar dan lingkungan terdekat.

Begitupun di tingkat sistem perlindungan anak, juga penting secara operasional bergerak. Padahal anggaran negara kita, masih timpang antara anggaran pemenuhan hak anak dan anggaran pemenuhan  perlindungan khusus anak.

Kebijakan dengan orientasi perlindungan anak 18 tahun, namun ketika terjadi permasalahan, anggaran perlindungan khusus anak yang harusnya mampu mengawasi dan melindungi seluruh anak Indonesia, tergopoh gopoh menjemput berbagai kekerasan anak.

Yang berujung membuat kita semua hanya menjadi pemadam kebakaran, dan sebagian lagi yang tidak bisa disentuh, kita hanya bisa jadi penonton dampak pengulangan dari kekerasan kepada anak.


Selain mandat perlindungan anak, sebenarnya dengan berbagai kasus yang terjadi saat ini terhadap anak, kita selalu menyorot soal ketahanan keluarga dalam mempertahankan anak.

Tetapi pada kenyataannya setiap tahun Kementerian Sosial menyatakan jutaan anak rentan terlepas dari keluarga. Senada dengan hal tersebut adalah tingginya angka perceraian di Indonesia, dan lajunya angka kelahiran tiap tahun.

Artinya kekerasan yang terjadi dan ketahanan keluarga yang dimaksud kita, kalau boleh disetujui, sebenarnya adalah mempertahakan pengasuhan anak. Namun sayangnya pengasuhan, belum menjadi mainstreaming kita mempertahankan anak. Masih cenderung program berkutat pada bantuan ekonomi, kita masih sedikit bicara pengasuhan semesta.

Meski sudah memiliki PP Pengasuhan Anak, namun belum mampu menjawab, karena perlindungan dan pengasuhan harus menjadi dwi tunggal dalam menjalankan perlindungan anak hari ini.

Yang artinya keduanya harus setingkat Undang Undang. Kenapa? Agar sistem perlindungan anak yang beserta pengasuhannya, dapat di pastikan pembagian peran dan anggaran. Karena selama ini tidak dapat di pastikan berjalan bersama, maka kita akan selalu menjadi Negara yang kagetan dalam setiap peristiwa kekerasan anak.

Pertanyaannya, siapa yang bisa memastikan kondisi anak anak kita, ketika lepas dari pengamatan. Jelas jawabannya hanya Undang Undang yang bisa membagi habis peran tersebut, berupa payung kebijakan. Sehingga perlindungan anak yang sudah berlapis di amanatkan Undang Undang dapat dioperasionalkan sampai di tingkat paling dekat. Dengan harapan ada respon yang sama, ketika anak lepas dari penglihatan orang tua.

Karena kekerasan anak, yang kita tonton, baca, dengarkan, rasakan, lihat sekarang. Sebenarnya adalah sudah menjadi puncak masalahnya anak, tetapi ketika masalah awal ada, kita jauh dari itu. Sehingga karena hanya puncaknya yang kita urusi, sehingga wajar, wajah perlindungan anak kita, seperti wajah kagetan, pemadam kebakaran. Yang tinggal menunggu kisah sedih, miris, dan pilunya datang lagi.

Untuk itu segala upaya sekecil apapun untuk melindungi anak, harus kita apresiasi.

Segala kegiatan, upaya menjangkau 83,4 Juta anak Indonesia, harus kita dorong bersama. Karena ini seperti berkejaran dengan waktu, kuncinya menyiapkan dukungan dari terdekat dengan para korban anak. Baik manajemen kasus, menajemen rujukan, infrastruktur yang sesuai kebutuhan, SDM yang memiliki perspektif bekerja dengan anak.

Dan ini tidak bisa dibentuk dalam sehari, tapi harus dimulai. Agar Indonesia emaa di alam bonus demografi yang akan datang, benar benar menghadirkan generasi emas, bukan generasi cemas, yang menghancurkan peradaban bangsanya sendiri, karena sejak kecil tidak mampu melindungi dirinya sendiri, yang berujung pada generasi yang memiliki perilaku beresiko dan mudah dimanfaatkan pihak lain.

Sehingga pilihannya tidak mungkin, bila tidak mendorong peran peran kebangsaan yang ada di masyarakat.

Karena tanpa itu, kita hanya  seperti menonton, dan menunggu pengulangan pengulangan peristiwa.

Salam Hormat,

*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515