Kekerasan Anak Yang Tinggi Tahun 2023, Tidak Hanya Sekedar Deret Angka


Berbagai persoalan anak yang muncul dan tercatat di KPAI, Kepolisian, Kementerian KPPPA, Kominfo adalah fenomena puncak dari masalah anak. Padahal sebenarnya di hulu atau pinggirnya sesuatu yang bisa dicegah. Yaitu pengasuhan yang layak di keluarga, sekolah dan lingkungan.

Hanya saja regulasi kita belum banyak mengatur di akses sistem sumber terdekat anak dan orang tua. Sehingga intervensi kita pada peristiwa anak lebih cenderung tersier, ditengah penganggaran untuk perlindungan anak, yang selalu menjadi prioritas terakhir dari semua sektor penganggaran.

Yang sebenananya di hulu atau pinggirnya menunggu untuk di intervensi. Agar tidak terus bersusulan menjadi fenonena puncak peristiwa anak. Sehingga sangat butuh keberpihakan.

Sehingga besarnya 3 x lipat angka kekerasan anak yang tercatat di KPPPA ini menandakan pentingnya di tempat terdekat peristiwa, ada akses sistem sumber terdekat layanan anak, agar bisa di cegah tidak menjadi fenomena puncak permasalahan anak. Seperti yang tercatat di KPAI, Kepolisian, KPPPA, Kominfo dan lembaga masyarakat.

Disanalah KPAI selalu mengingatkan pentingnya manajemen kasus dan manajemen referal ada dekat bersama anak dan orang tua.

Intervensi tersier mulai harus dikurangi negara. Memang hal ini terjadi. Karena kita banyak terjebak, dalam cara pandang mencegah dan menyelamatkan anak adalah berbasis lembaga

Penerjemahan Undang Undang Perlindungan Anak kita dalam intervensi anak anak yang membutuhkan perlindungan khusus pasca peristiwa, masih dalam lembaga atau institusional care.

Layanan terdekat yang dirasa menjadi ideal, yang merupakan cita cita mandat Undang Undang Perlindungan Anak berbasis layanan keluarga, sekolah dan lingkungan belum diatur secara sistem. Yang didalamnya bicara , kunci penanganannya adalah pengasuhan.

Tapi negara kita lebih banyak mengatur anak yang rentan atau berhadapan hukum dengan intervensi institusional care, sehingga kita lebih banyak mengatur disini. Kita lebih punya banyak regulasi yang bersifat kelembagaan. Sehingga keluarga selalu menyerahkannya ke lembaga. Baik panti asuhan, lembaga pemyedia layanan berbagai pihak, baik yang dimiliki pemerintah atau masyarakat.

Tetapi Undang Undang Perlindungan Anak kita, yang meyakini layanan berbasis keluarga menjadi kunci pengurangan angka kekerasan. Namun belum banyak aturannya di lengkapi, sehingga masih wacana.

Semisal, negara kita butuh list calon orang tua asuh, dimana ketika ditemukan anak anak tidak mendapattkan layanan pengasuhan yang layak, ada orang tua asuh yang sudah disiapkan sementara.

Karena regulasi kita meyakini bila layanannya berbasis keluarga akan lebih efektif dan jauh lebih masif penanganannya, dibandingnya di kumpulkan dalam institusional care.

Tapi sayangnya kita belum banyak mengatur skema pengasuhan yang layak baik di orang tua, orang tua sedarah atau keluarga besar (kinship care), atau keluarga pengganti (foster care), sekolah dan lingkungan, yang didalamnya punya respon yang sama soal pengasuhan yang layak. Termasuk didalamnya pengasuhan yang dapat melalukan pememuhan hak kesejahteraan anak. Inilah yang belum banyak diatur.

Meski sudah ada petugas yang dimandatkan untuk merespon, namun sifatnya tidak permanen, sehingga anak anak tidak mendapatkan penanganan tuntas, pengasuhan berkepanjangan berbasis keluarga. Yang diharapkan dapat mengurangi angka kekerasan yang terus tinggi saat ini.

Untuk itulah, jawaban angka besar 3 x lipat kekerasan anak ini, harus di jawab, dengan mengisi kekosongan hukum, yaitu segera men syah kan RUU Pengasuhan Anak. Agar ketahanan keluarga yang di cita citakan RPJMN ada payung kebijakan operasionalnya.

Saya sering mengatakan ditengah besarnya angka kasus kekerasan anak, juga menuntut adanya respon layanan cepat dan integratif serta masif di tengah besarnya angka tersebut.

Karena yang lebih penting dari besarnya angka tersebut adalah adanya percepatan respon layanan, yang lengkap dan profesional.

Karena seringkali angka angka ini adalah pengulangan, karena penangananya tidak tuntas.

Contoh: pertama anak tercatat dalam angka kasus kekerasan anak karena peristiwa tertentu. Tetapi kemudian kisah anak tersebut mengalami kekerasan berlanjut lagi atau pengulangan di masa depan. Dan menjadi catatan angka berulang kekerasan lagi, seiring anak bertumbuh, kekerasan yang dialaminya meningkat, yang dapat menjebaknya anak pada perilaku beresiko, sehingga anak dapat terjebak menjadi pelaku.

Hal ini terjadi, karena ketika anak masuk berhadapan hukum, kemudian di tangani, di bina. Namun ketika dikembalikan dirumah, sekolah dan lingkungan dengan situasi rumah yang belum berubah, andaikan berpindah tempat, tapi dengan situasi yang belum berubah, sehingga terjadi pengulangan. Inilah yang pernah dilaporkan para pendamping ke KPAI.

Bahkan dalam kunjungan kami ke LPKA atau lapas anak. Kami menangkap fenomena anak ketika di dalam penanganam hukum, kemudian melakukan bunuh diri. Adalah fenomena anak anak, yang sebenarnya protes atas kondisi dirinya, kemudian berperilaku beresiko, kemudian masuk ranah hukum, dan kemudian sebagai anak merasa tidak mendapatkan keadilan, tidak mendapatkan solusi ‘antara harapan dan kenyataan’ sehingga berujung mengakhiri hidup.

Sehingga kita ingin, dalam melihat angka kekerasan yang dialami anak ini, kita tidak hanya melihat naiknya deret angka. Tetapi ada perubahan dari dekat, di mana anak bertumbuh. Tetapi ada perspektif dalam bekerja melindungi anak. Tidak hanya sekedar deret angka.

Salam Hormat,

*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515