Peristiwa Ananda 14 tahun di SMP N 1 dengan alamat Sinembah Tanjung Muda (STM) Hilir, Deli Serdang Sumatra Utara sangat memilukan kita semua. Apalagi terjadi di dalam ruang kelas TKP nya yang berujung anak mengalami trauma sakit di sekujur tubuh, dengan akses penanganan kesehatan yang minim, sehingga demam yang tidak tertangani cepat, menyebabkan Ananda meninggal. Begitu juga karena peristiwa di kelas, tentu menjadi kisah buruk untuk seluruh siswa di kelas, lingkungan sekolah dan orang tua. Sehingga perlu pemulihan bersama.
Apalagi penyebabnya karena tidak bisa mengerjakan tugas hapalan agama. Serasa agama di terapkan dalam ruang yang amat sempit, apalagi maknanya hanya ditarik ke satu mata pelajaran. Pelajaran agama terasa begitu sesak sehingga tak ada ruang untuk mereka bernafas, bagi mereka yang tidak melakukannya.
Pelajaran agama harusnya mewarnai pada semua sikap, tindak tanduk anak. Penemuan agama di segala bidang ini, yang harusnya menjadi ruh semangat bagaimana anak menemukan solusi dalam mengenal nilai nilai agama secara keimanan, rasional dan rasa sadar sepenuhnya. Menjadi kebutuhan, pengamalan dan beragama yang sadar sepenuhnya akan Sang Pencipta.
Pemaknaan dalam ajaran ajaran baku agama, harusnya di kuatkan pemaknaannya, memiliki arti tak terbatas, konstektualkan pada kekinian, oleh guru guru, bahkan harusnya tidak hanya dilakukan guru agama. Namun apa jadinya bila itu dibiarkan, bila itu tidak terjadi, maka kisah RSS adalah puncak dari problematika, karena saya kira peristiwa ini, bukan karena hari ini saja menimpa anak seperti RSS, ada rentetan panjang dalam penerapan cara pelajaran agama, yang perlu di evaluasi kita semua. Dan bila itu tidak terjadi, kita tahu, yang meninggal karena pelajaran agama akan terus terjadi.
Penerapan makna keagamaan yang salah, yang harusnya sangat luas. Ketakutan anak tidak beragama, yang dilakukan oleh orang dewasa, seringkali terjadi, karena ketidakmampuan guru dan orang tua dalam menjawab permasalahan anak kekinian. Seolah olah kita terjebak, semua permasalahan anak dianggap obatnya satu yaitu agama yang agama kemudian sebenarnya ditempatkan ruang yang sangat sesak dan sangat sempit.
Justru yang muncul adalah bayang bayang bisnis ketakutan yang mengatasnamakan agama, yang dapat menyerang siapa saja, dan dimanfaatkan siapa saja. Sehingga penting para pemuka agama memberi konteks kekinian kepada para pengajar agama di sekolah sekolah. Sehingga anak anak tidak termakan jaman.
Saya kira para pemuka lintas agama di manapun berada perlu duduk bersama menjawab permasalahan puncak yang terjadi atas kisah ananda RSS 14 tahun. Karena ini bukan kisah satu satunya, kekerasan atas nama agama.
Saya kira meninggalnya anak di dalam institusi keagamaan, atas nama pemaknaan agama yang tidak tepat, terus terjadi ya, baik di pesantren, sekolah agama, sekolah asrama. Yang sering kali para pihak tenaga hukum sulit tembus dalam proses hukum. Dan ini adalah peristiwa yang terus berulang. Sehingga para tenaga hukum dan lembaga pengawas perlu energi ekstra untuk menembusnya. Bahkan di beberapa peristiwa karena menghadapi institusi yang dianggap, atau dimitoskan selalu benar oleh masyarakat, baik terhadap institusi atau perorangan yang mengatasnamakan agama menyebabkan para tenaga hukum sulit memprosesnya. Bahkan di beberapa peristiwa justru oknum penegak hukum yang dipengaruhi penggunaan symbol symbol agama secara serampangan.
Untuk itulah, kami menghimbau para organisasi keagamaan pusat, lembaga payung keagamaan, bergerak aktif, untuk saling berbagi pengalaman, membangun edukasi dan kapasitasi dalam menjawab tantangan jaman dengan dukungan penuh pemerintah dalam membangun pelajaran keagamaan yang menumbuhkan kebutuhan beragama di berbagai bidang, yang penuh kesadaran, yang menumbuhkan integritas dalam mengamalkan nilai nilai agama di sanubari anak anak kita.
Saya kira ini menjadi persoalan penting yang harus di bangun kesepahaman kita semua, dalam anak anak mendalami agama dan mengamalkan dalam kehidupannya sehari hari, sehingga tidak terjebak dalam symbol symbol, seperti sanksi yang teramat berat dengan squat jum 100 kali.
Yang saya kira untuk anak kelas 1 SMP, yang tidak biasa dilatih fisik berat akan mengalami trauma yang tak berkesudahan, yang kita tahu resikonya seperti peristiwa ini bisa sampai resiko meninggal, akibat tidak menyelesaikan tugas agama.
Saya kira yang terjadi pada anak tidak bisa terlepas, apa yang terjadi di sekolah, apa yang terjadi di rumah, apa yang terjadi pada kepemahaman agama di lingkungannya dan apa respon soal agama yang terjadi di sekitar anak. Sehingga melumpuhkan perhatian yang lebih penting, atas apa yang di derita anak pasca 100 kali squat jum.
Bila kita mendengarkan berbagai kronologi yang disampaikan atas meninggalnya adik Rindu Syahputra Sinaga, juga tidak relate hukuman tersebut, bahwa setelah hukuman itu, anak akan lebih beragama, atau dengan hukuman itu menimbulkan efek jera, sehingga tujuannya adalah kesadaran dalam beragama. Tapi apa yang terjadi dengan Ananda yang masih sangat belia 14 tahun ini, justru terbalik, yang harusnya di beri jalan keterampilan atau kemudahan dalam beragama. Justru mendapat resiko yang sangat jauh dari harapan menjadi cinta agama.
Yang ada adalah kesakitan yang terus memburuk hingga kritis. Di iringi dengan persoalan fasilitas kesehatan yang memiliki skrinning terbatas, sehingga menyebabkan kondisi yang terus memburuk, tidak ada perawatan intensif untuk korban, karena hanya pemeriksaan klinik dan diberi obat, dan ketika kritis, menjadi penanganan yang amat telat, sehingga Rumah Sakit tidak dapat berbuat banyak, hanya terkesan persoala administrasiterbitnya surat kematian.
Dan kita semua lalu menyesali peristiwa ini. Namun sekali lagi pertanyaan kita, apakah relate antara kesadaran agama dengan efek jera dengan hukuman tersebut, yang menjadi penderitaan sangat panjang untuk anak, ia harus menerima trauma dan sakit yang terus memburuk. Saya kira kalau ujungnya seperti ini, tentu kita semua sepakat sangat jauh dari cita cita penanaman nilai nilai yang ingin disampaikan agama.
Pasca tidak bisa pelajaran agama, menurut diagnosa dokter menjadi resiko yang sangat tinggi untuk anak, dengan orang tua menyatakan kata dokter otot anak bergeser, trauma otot yang trauma bergeser dalam waktu singkat itu, menimbulkan reaksi flek merah yang ujungnya demam tak berkesudahan. Alat yang terbatas di klinik, sehingga tidak mendapat perawatan intensif dan hanya rawat jalan. Akhirnya menjadi demam tinggi yang dari demam itu menganggu kondisi organ organ tubuh lainnya, dan terus tidak tertangani, hingga kembali ke klinik dalam kondisi kritis. Keterlambatan itu cukup dengan rujukan ke rumah sakit, maka tuntaslah penanganan klinik. Dan yang terjadi menurut RS, ini telat tertangani dan meninggal. Sebelumnya anak mengeluh sakit dan susah jalan kepada orang tua dan teman temannya. Namun anak pasca kejadian tetap sekolah, yang menyebabkan kondisinya terus menurun.
Meski sudah diminta berobat jalan dan sekedar minum obat, sebenarnya anak butuh fasilitas perawatan intensif, yang mungkin di klinik tersebut tidak ada, akhirnya hanya di rawat di rumah. Akhirya luputlah kondisi anak, akibat alat skrining yang mungkin tidak lengkap di klinik. Dan pemahaman orang tua atau masyarakat selama ini, kliniklah perawatan tertinggi yang dipercaya masyarakat. Akibat tinggal jauh dari akses penanganan tingkat lanjut. Namun apa yang terjadi, sebenarnya sedang ada kelalaian kita semua atas kondisi korban pasca di hukum squat jum 100 kali tersebut.
Korban bernama Rindu 14 tahun, seharusnya bisa menjadi momentum kerinduan kita semua, akan agama dapat hadir ramah kepada anak di sekolah. Meski oknum guru itu sudah dikeluarkan, namun apakah pelajara agama yang diajarkan dengan kekerasan itu juga hilang? Ini jadi pertanyaan kita semua.
Karena agama yang di ajarkan dengan warisan trauma itu, hanya berujung melahirkan generasi keras dalam mengamalkan agama. Agama yang diajarkan dengan trauma trauma masa lalu, mungkin itu juga yang jadi alasan oknum guru agama tersebut, karena menjadi korban di masa lalu, dengan melakukan kekerasan atas nama agama, menjual ketakutan atas nama agama. Artinya mari kita putus itu semua di kita. Mari hadirkan agama yang tidak menindas, tetapi membebaskan, memudahkan pemeluknya.
Kita tahu, sebenarnya batin ibu korban berteriak, dengan melaporkan kondisi anak nya ke sekolah pada 24/9, atas kondisi anaknya yang tidak kunjung sembuh. Namun apakah setelah Ibu melapor, ada pihak sekolah yang berempati menjenguknya, mari bertanya ke ke pihak sekolah.
Dari 19/9 trauma kaki, kemudian 2 kali ke klinik, dan kemudian karena kondisi kritis pada 25/9 baru dirujuk, menyatakan ada beberapa penjelasan yang luput, yang perlu di ungkap. Sehingga menyebabkan anak tidak mendapatkan upaya optimal penanganan.
Apakah keterbatasan alat, jarak klinik dan RS yang jauh, atau keterbatasan biaya sehingga tidak ada upaya lanjut. Sehingga 26/9 dinyatakan sudah telat dan meninggal pagi jam 06.30.
Di perjalanan anak menahan sakit ini, ada yang masih misteri tentang temuan penyebabnya, apa yang menyebabkan anak harus menanggung sendirian kondisinya hingga gagal bertahan hidup, sehingga penting di rekonstruksi ulang pihak kepolisian, agar kasus ini terang benderang. Selain oknum guru, adakah kelalaian dari pihak pihak tertentu dalam penanganan. Atau memang karena keterbatasan alat, sehingga tidak ada ruang rawat intensif, hanya memberi obat, dan tidak di rujuk langsung. Padahal kalau dalam riwayatnya di rujuk karena keterbatasan alat. Artinya di daerah yang mungkin terbatas alat kesehatan, di pedalaman, kedepan penting ada evaluasi dan kehadiran pemerintah di bidang kesehatan, agar peristiwa anak mencari akses kesehatan dan perawatan intensif yang hilang, tidak terjadi kembali.
Kita tahu, ketika Rindu meninggal, masih ada 6 anak yang konon juga mendapatkan situasi yang sama, dihukum karena tidak bisa menghapal pelajaran agama dan tugas, sehingga hukumannya di serahkan ke guru agama. Apakah guru agama di sekolah menjadi petugas yang diminta semua guru untuk menghadapi anak anak yang terstigma, atau harus mendapatkan hukumah, apakah itu semua di bebankan kepada satu guru, yaitu guru agama. Tentu dugaan ini, bukan untuk membenarkan pelaku dalam penyebab meninggalnya anak. Namun penting manajemen sekolah juga diperbaiki.
Kita tahu TKP adalah ruang kelas SMPN 1 pd (19/9). Haruskah mereka menyimpan kisah buruk itu sekelas, haruskah 6 anak yang bersama korban terus mendapat stigma yang sama dengan RSS yang telah meninggal? Mari stop pembunuhan anak memalui institusi agama (baik sekolah maupun perorangan), saatnya memutus mata rantai kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Salam Hormat,
Jasra Putra
Wakil Ketua KPAI
HP. 0821 1219 3515