KPAI Kecam Orangtua yang Cambuk Anak dan Paksa Ngamen di Parung

Lagi dan lagi, Kita selalu terlambat melakukan aspek pencegahan. Padahal yang terpenting dalam permasalahan anak. Anak tidak di tempatkan sebagai subyek hukum. Anak adalah obyek dari suatu peristiwa. Anak tidak di tempatkan pesakitan seperti ini. Anak seperti itu karena tidak mampu melihat keadaan (ia berontak, kecewa, sedih, marah, dijebak perlakuan salah) sehingga dalam peristiwa anak mengandung azas preventif dan promotif. Karena anak tidak sekuat orang dewasa, tidak berfikir resiko, semua yang ia lakukan karena ingin menjemput tumbuh kembangnya.

Dalam sistem perlindungan anak yang menggunakan System Building Approach atau SBA, dinyatakan negara lebih punya kewajiban primer dengan menyiapkan sistem terdekat yang bisa mencegah. Bahwa anak-anak yang sejak awal berada dalam keluarga seperti ini, harusnya terdeteksi sejak awal. Karena anak-anak tersebut masuk kategori perlindungan khusus anak. Hanya sayangnya seringkali, ketika orang tua mengakses kebutuhannya seperti di kasus ini, yaitu menikah lagi sehingga menimbulkan pencatatan kartu keluarga lagi, ada pengurusan administrasi yang lain seperti sekolah dan pajak. Tetapi hal ini tidak terkoneksi dengan perlindungan khusus anak tadi, sehingga telat terdeteksi. Mendadak sudah menjadi ancaman buat anak, tidak ada yang mau bertanggung jawab pada keberadaan anak. Justru anak di timpakan semua sumber masalah yang ada, dari perceraian dan menikah lagi. Situasi kerentanan ekonomi,nasib anak dijadikan akar semua masalah keluarga. Justru hak yang dijamin negara tidak terlihat oleh semua pihak.

Ini yang seringkali KPAI sampaikan, betapa pentingnya asessment dan pemantauan pengasuhan anak pasca anak mengalami perceraian, kdrt, konflik orang dewasa, ada permasalahan di sekolah, ada permasalahan dilingkungan. Karena kalau tidak dibaca dan diintervensi sejak dini hanya akan melahirkan tumpukan masalah yang bertingkat dihadapi anak.

Pihak diluar yang membantu merasa sudah menyelesaikan masalah anak. Padahal ketika kembali ke rumah, ke sekolah, ke lingkungan. Situasinya belum berubah. Makanya KPAI selalu menekankan, tidak cukup niat baik membantu, harus ada yang bisa melihat masalah anak secara utuh, baru kita intervensi bertahap bersama sama. Karena jika salah intervensi, anak harus menanggung seumur hidupnya.

Yang kita tahu anak tidak siap menerima resikonya. Kalau seperti ini terus, negara akan terus jadi pemadam kebakaran, karena semua masalah anak ditemukan sudah di puncak masalah. Negara punya mandat mengurangi kdrt, kekerasan, perlakuan salah, intervensi kelompok rentan.

Karena sekali lagi, yang kita lihat sekarang semua masalah anak adalah puncaknya. Ini benar benar harus dirubah. Dalam intervensi negara, yang diamanahkan selama 18 tahun, skema perlindungan dan sistemnya harus benar benar disiapkan, didekatkan, diselemggarakan, disiapkan anggarannya.

Karena kalau tidak akan terkesan anggaran kita mengambarkan untuk memberi anak saat baik baik saja. Namun ketika tidak baik baik, kita hanya intervensi di puncak masalahnya. Sekali lagi pola bekerja, birokrasi kita, sistem melindungi anak kita harus dilihat ulang. RUU pengasuhan anak darurat disahkan, karena ada prasyarat respon yang sama dalam.pengasuhan anak, kalau tidak. Kita akan selalu gagal cetak generasi unggul berkualitas.

Kita ingin Indonesia Emas di 2024 bukan Indonesia Cemas dalam menyanbut surplus jumlah penduduk usia muda.