Pekerja anak di bawah bayang kemiskinan dan minim pendidikan

Saat anak-anak lain berusia 10 sampai 17 tahun menghabiskan waktu untuk sekolah dan bermain, sebagian harus bekerja mencari nafkah. Perlu pengawasan yang lebih ketat dari berbagai pihak untuk mengembalikan mereka ke bangku sekolah.

Data mencatat proporsi pekerja anak pada 2017 sebesar 1,5 persen dari total populasi anak sebesar 84,4 juta jiwa. Mereka tak mengenyam bangku sekolah sama sekali. Lama bekerja pun beragam, mulai dari satu jam hingga 97 jam seminggu.

“Bekerja membuat hak pendidikan, jam bermain dan interaksi dengan teman tidak terpenuhi,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, ketika dihubungi Beritagar.id.

Mayoritas pekerja anak bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, sekitar 41,74 persen, merujuk data Survei Sosial Ekonomi Nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2017 yang diolah tim Lokadata Beritagar.id.

Mereka yang bekerja di sektor pertanian seperti kelapa sawit, menurut Jasra, lumrah terjadi di desa. Temuan KPAI di lapangan, sejumlah modus dilakukan seperti mendaftarkan diri menggunakan nama orang tua tapi yang bekerja justru si anak dan dalih membantu orang tua seperti mengambil brondolan sawit.

Sebanyak 1,5 persen pekerja anak dari total populasi anak itu, jumlahnya setara 1,2 juta anak. Berbeda dengan kondisi di perdesaan, mayoritas di perkotaan mereka bekerja di sektor perdagangan (23 persen) dan industri pengolahan di pabrik (22,3 persen).

 

Para pekerja anak ini masuk dalam klasifikasi International Labour Organization (ILO)sebagai buruh anak yang tak bersekolah dan pekerjaannya berpotensi mengganggu pertumbuhan mental, fisik, serta sosial. Pekerja anak kategori ini yang perlu diminimalisir keberadannya.

Konvensi ILO yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 20 Tahun 1999 menyebutkan pekerjaan ringan hanya boleh dilakukan pekerja berusia 16 tahun ke atas sementara batas usia pekerja anak yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral yakni 18 tahun.

Namun realitanya, sekitar 14,5 ribu anak berusia 10 hingga 11 tahun masih dipekerjakan di sektor formal, seperti halnya 146,1 ribu anak berusia 12-14 tahun dan 1,05 juta anak usia 15-17 tahun. Mereka adalah pekerja yang tak mengenyam pendidikan sama sekali.

“Fenomena di desa, anak yang sudah besar itu diminta membantu bekerja, bahkan di sektor formal,” kata Jasra.

Terlepas dari kategori tersebut, ada pula anak yang bekerja membantu orang tua tetapi masih mengenyam pendidikan, yakni berkisar 629 ribu anak per Maret 2017. Anak kategori ini dibolehkan ILO untuk tetap mencari keterampilan di luar sekolah yang dinilai dapat mengembangkan diri.

Studi dari lembaga riset SMERU tentang pekerja anak selama krisis moneter di Indonesia menunjukkan bekerja paruh waktu tak mengurangi hak anak mengenyam pendidikan. Bahkan, bekerja di luar jam sekolah membantu orang tua untuk membayar biaya pendidikan.

Menghabiskan waktu untuk bekerja

Durasi bekerja menjadi catatan penting bagi pekerja anak agar tak mengganggu tumbuh kembangnya. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur maksimal tiga jam setiap hari atau 15 jam per minggu dan dilakukan siang hari di luar jam sekolah.

Data BPS menunjukkan mayoritas anak usia 10 hingga 11 tahun bekerja dari rentang 1-20 jam saban minggunya. Untuk pekerja anak usia 12-14 tahun, sebagian besar menghabiskan waktu 21-40 jam seminggu untuk bekerja, sementara usia 15-17 tahun paling banyak bekerja selama 41-60 jam seminggu.

Menariknya, 5,7 persen dari seluruh pekerja anak menghabiskan lebih dari separuh waktunya untuk bekerja. Angka ini melebihi jam kerja normal orang dewasa yakni 40 jam per minggu.

Mereka bekerja di sektor beragam seperti pertanian dan perikanan, pengadaan listrik dan gas, konstruksi, serta pengelolaan air dan sampah.

“Kalau ada yang bekerja lebih dari 10 jam tiap hari, kami minta Kemenakertrans (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi) mengawasi sektor formal itu untuk menghentikan pekerja anak, terutama di sektor membahayakan seperti listrik,” katanya.

Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB Tahun 1989, ada 10 hak yang harus diberikan untuk anak. Di antaranya Hak untuk Bermain. Menghabiskan waktu untuk bekerja, membuat hak anak bisa terabaikan.

Kemiskinan dan minim pendidikan

Jasra menilai akar dari munculnya pekerja anak adalah kemiskinan dan minimnya pendidikan. Kemiskinan menuntut anak menjadi pendongkrak perekonomian keluarga dan merelakan pendidikan mereka.

Studi dari peneliti University Malaysia of Sarawak Haszelinna dan Arabsheibani dari London School of Economics menegaskan kemiskinan menjadi faktor utama seorang anak bekerja. Kemiskinan dipantik oleh krisis ekonomi pada 1997-1998 yang menuntut anak untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup.

Selain itu, Jasra berpendapat rendahnya latar belakang pendidikan orang tua berdampak pada anggapan sekolah menjadi tak penting jika sudah bisa menghasilkan uang.

“Kasus yang saya temukan di daerah Dramaga, Bogor, banyak anak putus sekolah yang bekerja di industri rumahan pembuat sepatu. Ketika ditanya, ada anggapan mengapa harus sekolah kalau sudah dapat gaji Rp2,5 sampai Rp3 juta,” kata Jasra.

Analisis Jasra sejalan dengan studi Hasxelinna dan Arabsheibani yang menunjukkan semakin tinggi latar belakang pendidikan kepala keluarga, semakin kecil potensi seorang anak diminta untuk bekerja.

Jawa Tengah merupakan provinsi dengan persentase pekerja anak tertinggi di Jawa, sebesar 1,5 persen, disusul oleh Jawa Barat, dengan proporsi 1,42 persen.

Adapun persentase tertinggi di Indonesia yakni Papua (5,1 persen), diikuti dengan Gorontalo (2,5 persen), Sulawesi Selatan (2,2 persen), Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masing-masing 2,1 persen.

Untuk kasus di Papua, Jasra menjelaskan minimnya akses pendidikan menjadi permasalahan utama.

“Di Papua, ada beberapa problem akses pendidikan, jarak ke sekolah jauh. Akhirnya daripada di rumah, orang tua membawa anak bekerja,” katanya.

Padahal, akses dan kualitas pendidikan berpengaruh terhadap keterampilan yang dibutuhkan saat bekerja. Akhirnya, anak dengan pendidikan rendah hanya bisa bekerja di sektor tertentu dengan upah minim.

“Salah satu rantai pemotong kemiskinan adalah pendidikan. Biar orang tua belum memperoleh pendidikan setingginya, saya harap anaknya tidak diwariskan seperti itu dari orang tua,” ujarnya.

Sejak 2008 hingga 2017, pemerintah Indonesia mengklaim telah mengentaskan 98.956 anak dari tempat kerja mereka untuk kembali ke sekolah dan mendapatkan pelatihan vokasi. Program ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk membebaskan pekerja anak pada 2022.

Jasra beranggapan jika pemerintah ingin mewujudkan program tersebut, perlu adanya pengawasan yang lebih ketat dari Kemenakertrans serta kerja sama para pihak.

“Kalau ada anak yang bekerja dan mengganggu pendidikan serta bekerja tapi tidak diberikan haknya sesuai prosedur, silakan dilaporkan ke KPAI. Ketegasan dan penegakan regulasi bisa mengentaskan pekerja anak di Indonesia,” tutupnya.