Peristiwa Apartemen Jakarta Utara: Tali Itu Memasung Hak Hak Anak


Biasanya anak di ajak mengakhiri jiwa bersama orang tua, karena fenomena ajaran pemahaman teologi maut radikalisme. Namun belakangan fenomena ajakan ini juga datang dari orang tua kalangan tertentu. Seperti yang kita saksikan pada keluarga yang bertempat tinggal di apartemen Jakarta Utara.

Data KPAI menunjukkan sepanjang 2023 ada 46 anak anak mengalami mengakhiri jiwa karena berbagai sebab. Dan beberapa kali kita tahu, media sajikan berita para orang tua yang tidak terkendali tersebut, kemudian meyakinkan anaknya untuk melakukan hal yang sama.

Dari keterangan media dan kepolisian, keluarga di Jakarta Utara telah bertempat di apartemen sejak 2017. Kemudian tahun 2020 pindah ke Solo, Jawa Tengah. Yang dikatakan saat tinggal di apartemen jarang bersosialisasi.

Saya kira kalau bicara apartemen, yang kita tahu, semua penghuninya, kebanyakan kelas menengah ke atas. Dan memang ukuran pemasaran apartemen, keberhasilannya ketika ada jaminan privacy untuk para penghuninya. Karena ruang privat apartemen adalah ukuran kenyamanan. Namun di peristiwa jakut kita tahu, ranah privat ini rentan disalah gunakan.

Saya kira situasi di dalam keluarga pada setiap apartemen, terutama keluarga yang situasinya dianggap tertutup, akan sangat sulit dijangkau ya. Selain wilayah privat, memang mereka tidak saling ganggu, karena pintu depan rumah, tidak ada teras, dari lift langsung pintu rumah. Teras pun sangat privat, adanya di dalam, bukan menghadap luar, sehingga tidak menyebabkan bisa saling lihat dan tegur sapa langsung.

Namun yang jadi permasalahan kita semua, situasi 2 anak pada peristiwa ini. Saya kira ini jadi PR pekerjaan besar kita semua. Bahwa komitmen pemerintah dalam perlindungan anak, termasuk kepada anak anak yang hidup dalam lingkungan, yang saya katakan tidak mudah di kenali, situasi dan ancaman untuk anak, seperti di apartemen.

Sebenarnya kan berbagai peristiwa kekerasan, kejahatan, prostitusi, narkoba yang melibatkan anak di apartemen, memang kerap terjadi, dan sifatnya terus pengulangan. Karena memang situasi privat tadi menyulitkan yang berwenang melakukan deteksi dini.

Namun jika kita membayangkan situasi anak anak, yang jadi pertanyaan, apakah anak anak mereka pernah bersekolah? memiliki teman? bersosial media? ini yang masih misteri buat kita semua. Bila memang orang tua dianggap kurang bersosialiasi, bagaimana dengan anak anak mereka. Namun kita juga pernah diberitakan media tentang mengakhiri jiwa karena keyakinan tertentu yang di anut ya.

Ada sesuatu yang tidak bisa di identifikasi, di deteksi, dari kerentanan, daya tahan yang terjadi pada keluarga seperti ini. Kita tahu kehidupan di apartemen sangat privat dan individualistik. Kehidupan yang dianggap memiliki ekonomi di atas rata rata. Sehingga ketika itu terjadi pada keluarga mereka, sangat sulit, mereka terbebani dalam menempatkan diri dalam struktur sosial, untuk menceritakan yang sesungguhnya terjadi pada keluarga mereka.

Namun masuk pasca pandemi, kita melihat ada situasi situasi keluarga yang tidak teridentifikasi, dan mereka masih berdampak ikutan panjang dari pandemi. Apa yang ada, hanya cukup untuk bertahan. Maka kita terbayang, kalau itu terjadi pada keluarga yang tertutup dan tinggal di apartemen.

Karena kalau semua akses temu-tegur-sapa tidak ada, maka ruang mendeteksi, mewaspadai dan menyelamatkan anak anak, akan sangat sulit ya, pada keluarga yang anak anak nya tinggal di apartemen.

Saya kira ini semua, masih sangat awal, masih asumsi asumsi, kita berharap kepolisian bisa mengungkap penyebabnya, agar bisa jadi pembelajaran, membangun kewaspadaan bersama, terutama keluarga keluarga yang tinggal di apartemen dalam perlindungan anak.

KPAI menyayangkan juga, situasi kekosongan apartemen sekian lama, kurang menjadi perhatian, karena disana ada anak anak yang harusnya alert warning system bersama. Lalu bagaimana menghidupkan itu di keluarga yang tinggal di apartemen, ini butuh kesadaran berbagai pihak, untuk saling terkoneksi, agar anak anak bisa di selamatkan sejak awal. Kalau sudah bicara hal ini, saya kira ini bukan peristiwa pertama, sudah sangat banyak anak anak yang dikorbankan dalam profil keluarga seperti ini.

Saya kira berbagai penyebab orang tua mengajak anaknya mengakhiri jiwa bisa di diskusikan dan penyebabnya masih sangat luas. Tetapi ketika kita mendiskusikannya panjang lebar, ada anak anak yang kita tahu, bisa saja dalam situasi yang sama, karena ini kan kisah pengulangan peristiwa ya. Siapa pihak yang kita anggap paling bisa melakukan intervensi dalam melindungi anak anak dalam apartemen. Ini yang harus kita bantu bersama memikirkan. Karena kita tahu anak anak secara fisik, pemahaman dan emosional mudah di kuasai orang tua, sehingga mereka tidak mengerti mendapat perlakuan salah ajakan mengakhiri jiwa.

Memang ruang budaya, ruang perjumpaan, ruang saling temu-tegur-sapa di lingkungan apartemen, sangat tergantung dari fasilitas yang di sediakan. Sehingga situasi berelasi social, sangat berpengaruh dari fasilitas yang di sediakan. Sehingga KPAI mendorong, pemerintah memperhatikan kelayakan ruang, tempat, fasilitas, terutama keberadaan anak anak yang sewaktu waktu bisa menghadapi situasi yang sama, seperti yang terjadi pada keluarga di apartemen Jakarta Utara ini.

Kita membutuhkan ruang ruang lain, agar profil keluarga seperti ini mendapat tempat di masyarakat. Seperti menghidupkan ruang agama, ruang sekolah, ruang ibadah, dalam mengenali situasi keluarga tersebut. Kita berharap ruang perjumpaan yang lain di buka, sehingga bisa mengurangi keinginan mengakhiri jiwa. Hanya apakah ini menjadi prasyarat mendirikan apartemen, bahwa ada fasilitas terdekat yang diajak untuk ikut menciptakan dan menyelamatkan anak anak yang rentan sulit dikenali situasi mereka ketika tinggal di apartemen. Semoga masih ada cara menyelamatkan anak anak dalam situasi tersebut.

Untuk itu juga, KPAI sudah konsisten, selama puluhan tahun, membangun media jembatan pengasuhan, agar ada respon yang sama, situasi pengasuhan anak anak di manapun berada. Pentingnya ada payung kebijakan RUU Pengasuhan Anak, yang saat ini di meja legislasi untuk segera di syahkan. Karena berkembangnya pola ragam pengasuhan, yang menempatkan anak anak dalam situasi rentan. Mereka tidak bisa membela dirinya sendiri, sehingga perlu payung kebijakan standarisasi pengasuhan anak, di manapun berada.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahu8n 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak juga penting mulai mengidentifikasi potensi ancaman anak dari perlakuan salah orang tua, bagi anak anak yang tinggal dalam situasi privat dan sulit dijangkau, seperti anak anak di apartemen. Karena memang belum diatur, tetapi kita tahu peristiwanya terus berulang, dan perlu di sikapi bersama.
Agar ada supervisi bersama dan perhatian bersama tentang kasus ini, kita berharap tidak terjadi lagi ada anak yang diajak bunuh diri. Apalagi ini dengan diikat ya, sebenarnya ini pemaksaan untuk anak anak ikut. Saya yakin sebenarnya mereka tidak mau, hanya daya tahan dan daya menolak anak anak tingkatannya berbeda beda. Saya kira ada brainwash juga yang tidak punya pilihan untuk ikut. Sekali lagi sebenarnya anak anak itu menolak. Tapi kita tidak bisa melakukan apa apa. Ada juga situasi situasi yang harusnya bisa kita kenali sejak awal, situasi ancaman anak anak sebelum peristiwa. Yang ke depan bisa jadi panduan atau pengalaman untuk cegah anak diajak mengakhiri jiwa orang tua di apartemen. Seperti bertahun tahun lama tidak dikenali situasi anak anak di keluarga tersebut.

Sehingga kita perlu ada figur perlindungan anak terdekat di apartemen, yang bisa diakses bagi keluarga yang membutuhkan. Siapa lagi yang melindungi mereka, kalau bukan kita. Mari kita lebih peduli, salah satunya kepedulian itu, dengan mendekatkan system perlindungan anak pada anak anak yang tinggal diruang privat apartemen.

Selamatkan Anak Anak Dalam Kekerasan Situasi Privat,

*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515