Kalau kita membaca Permendikbudristek nomor 50 tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, ada hal yang paling esensial yang di perjuangkan insan pendidikan kita, bahwa tujuan berseragam adalah untuk menanamkan jiwa nasionalisme dan kedisiplinan, dalam rangka meningkat citra dari insan terdidik.
Sehingga kalau kita mau berpatokan pada tujuan adanya seragam, akan sangat luas pemaknaannya, karena tidak terjebak pada seragam yang kita bayangkan sama warna, sama bentuk, tapi sarat nilai nilai dan karakter yang di transfer pada jiwa jiwa pemakainya. Di dalam aturan tersebut mengenal 3 seragam, pertama seragam nasional, kedua seragam pramuka dan ketiga seragam khas sekolah termasuk pakaian adat, yang ketiganya memiliki tujuan mulia masing masing.
Memang perdebatan selama ini, kalau kita bicara adanya kasus pemaksaan memakai jilbab atau hijab, peraturan di pasal 8 mengartikan seragam khas sekolah dengan Model dan warna Pakaian Seragam Khas Sekolah ditetapkan Sekolah dengan memperhatikan hak setiap Peserta Didik untuk menjalankan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai keyakinannya. Sedangkan pasal 9 mengartikan seragam khas sekolah yang didalamnya ada pakaian adat, dengan mengartikan Model dan warna pakaian adat sebagaimana dimaksud, ditetapkan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan
hak setiap Peserta Didik untuk menjalankan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai keyakinannya.
Kemudian di pasal 11 untuk pakaian seragam nasional, di luar seragam, ada istilah memakai atribut. Yang dimaksud atribut disini adalah topi, dasi. Kemudian diluar itu, seperti jilbab atau hijab memang tidak di jelaskan. Namun di pasal 13 dinyatakan Sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan/atau memberikan pembebanan kepada orang tua atau wali Peserta Didik untuk membeli pakaian seragam Sekolah baru pada setiap kenaikan kelas dan/atau penerimaan Peserta Didik baru. Namun bila terjadi pemaksaan atau pembebanan, ada sanksi sanksi yang telah di siapkan aturan ini, seperti Sanksi
peringatan lisan; peringatan tertulis; penundaan kenaikan pangkat, golongan dan/atau hak-hak jabatan; atau sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun di dalam aturan tersebut, juga mencontohkan seragam nasional dengan jilbab, bahkan memberi secara detail gambar dan bentuknya, namun aturan seragam tersebut memberi catatan pada aturan seragam nasional dengan jilbab, bahwa Bagi orang tua atau wali Peserta Didik yang ingin Peserta Didik mengenakan jilbab maka model Pakaian Seragam Nasional sebagai berikut; pertama Kemeja putih lengan panjang sampai pergelangan tangan, memakai satu saku di sebelah kiri dan dimasukkan ke dalam rok; kedua Jilbab putih; ketiga Rok panjang warna merah hati sampai mata kaki, lipit searah, tanpa saku, bagian pinggang disediakan tali gesper untuk ikat pinggang; keempat Ikat pinggang ukuran lebar 3
cm warna hitam; kelima Kaos kaki putih minimal 10 cm di atas mata kaki; dan keenam Sepatu hitam.
Sehingga, saya kira pilihan pilihan itu tersedia, sekarang tinggal bagaimana sekolah, guru, bisnis dan manajemen sekolah, pemerintah daerah menyikapi aturan tersebut. Bagaimana secara bijak, mengedepankan aturan yang mendukung kesehatan jiwa anak, sehingga anak anak memiliki kesadaran penuh untuk terdidik, termasuk menggunakan jilbab dan tidak menggunakan jilbab.
Sehingga sebelum kita terjebak dalam pembahasan pro kontra soal busana di dalam lembaga pendidikan, mari kita membaca lagi peraturan tersebut, bahwa semangat seragam adalah menyelamatkan jiwa pemakainya, setelah itu baru bicara pendidikan. Apakah dengan seragam itu, pemakainya memiliki jiwa yang sehat, dengan seragam tersebut tertanam rasa nasionalisme yang tinggi. Bagaimana pendidikan menyelematkan jiwa anak anak, sehingga ada upaya sadar untuk menjadi orang terdidik.
Yang harus kita kuatkan dari fenomena berbusana jilbab untuk anak. Sebenarnya adalah sejauh mana nilai nilai yang di yakini orang dewasa itu, di kenalkan, diajarkan dan berproses secara bertahap kepada anak anak sejak dini. Karena mempersyaratkan adanya pengenalan sejak dini, pengajaran, literasi, proses keyakinan, dan memutuskan.
Begitupun dalam hukum negara kita dalam Undang Undang apapun terkait urusan tentang anak, tidak menempatkan anak sebagai subyek hukum. Karena sangat mudah orang dewasa menghukumi anak, memaksa anak, karena kondisi fisik, pemahaman dan emosionalnya yang mudah di kuasai orang dewasa.
Sehingga dalam paradigm hukum, bicara anak, bicara pengajaran, pengenalan, dengan tujuan, agar anak anak kuat melawan segala hal yang merugikan tumbuh kembangnya. Oleh karena itu anak anak yang berhadapan dengan hukum, diberi kesempatan menjalankan masa pidananya, dengan rehabilitasi, edukasi, Negara memperbaiki trauma masa kelam pengasuhannya. Karena dengan cara inilah, yang disebut efek jera bisa efektif pada anak
Karena segala hal yang membawa dampak buruk anak, diyakini terjadi karena ada yang mendorong anak melakukan itu, karena ketidak tahuan mereka, karena tidak memahami perlakuan salah, mudahnya orang dewasa memanipulasi mereka, emosi mereka mudah di provokasi, dan pemahaman mereka mudah dibelokkan. Sehingga kesalahan pada anak, tidak berdiri sendiri, ada yang dibelakangnya sebagai pelaku utama yang mendorong anak.
Sehingga anak anak mudah di tekan tanpa kesadaran, karena kelemahan tersebut. Sayangnya tekanan tanpa kesadaran itu, telah berdampak besar, dengan fenomena generasi kita sekarang, yang kejiwaannya mudah terguncang, lebih cepat emosi, mudah sensitive, padahal penyebabnya bukan di luar sana, tetapi ada di sekitar kita dan diri kita.
Karena kita meyakini, kalau ingin alasannya transfer nilai nilai kebaikan, sebenarnya, mempersyaratkan tumbuh dan kembang yang kondusif, nilai positif, sejak dini untuk anak. Apakah pemaksaan di sebut tumbuh kembang positif? Tentu sangat menganggu tumbuh kembang. Kenapa? Karena semakin anak dewasa, dia akan menjadi insan kritis dan mempertanyakan segala hal, kemudian apakah kita sudah mempersiapkan diri menjawabnya. Karena mereka bukan insan yang terus mengecil, tapi tumbuh kembang terus membesar dan memiliki kesadaran penuh.
Untuk itu tentu kita tidak memperdebatkan soal hijab atau busana berjilbab, tetapi apakah kita mengenal dengan kejiwaan anak anak kita. Karena ketika secara jiwa merasakan, maka kesadaran akan hadir sepenuhnya. Semuanya itu membutuhkan partisipasi aktif anak sejak awal, yang membawa nilai nilai tadi, baik sejak pengenalan, kesadaran, keutamaan, sikap, perilaku, dalam kandungan yang luas arti jilbab atau hijab itu sendiri.
Sebenarnya UU Sistem Pendidikan Nasional kita kalau ingin membaca naskah akedemik dan Undang Undang nya, menekankan filofis mendidik, yang diawali dengan mengolah jiwa, dari jiwa itulah anak anak diingkan Undang Undang, memiliki kesadaran penuh, missal dalam konteks ini memakai jilbab.
Sekali lagi Undang Undang kita tidak meminta lembaga pendidikan merusak jiwa dengan memaksa, tapi dengan anak anak memiliki jiwanya. Tentu dengan dampak pemaksaan, keinginan jiwa yang berkilbab itu, semakin jauh, karena yang dialami anak, kita bisa mengukur, bahwa generasi pendidikan yang di serang bertubi tubi psikologisnya, menjadi lebih tidak sadar dan menjadi generasi serba salah. Sehingga anak anak akan semakin menjauhi cita cita pendidikan karakter.
Generasi tanpa kesadaran, fenomenanya sangat kental, kuat, jelas, dengan anak anak menyatakan dirinya generasi galau, generasi bingung dan menjadi generasi serba salah. Karena berbagai standard ganda yang di lakukan pendidikan.
Tadinya anak adalah generasi peniru ulung, bukan pendengar atau pembelajar yang baik. Tetapi dengan peristiwa ini, anak anak menjadi generasi yang bingung, dengan pembahasan pro kontra, yang sebenarnya jauh, dari jawaban kebutuhan anak sesungguhnya, terutama yang menjadi korban.
Kita melihat anak anak yang lebih mudah terserang kejiwaan. Dari pilihan anak keluar dari semua persoalan yang sedang dibahas orang dewasa, justru mereka tidak tertarik, justru mereka tidak puunya keinginan berpartisipasi aktif dalam kesadaran berbusana.
Dengan orang tua, dan para pendamping lebih bicara gangguan kejiwaan yang terjadi akibat persoalan ini, bukan lebih dominan menjadi generasi terdidik dalam persoalan ini, Artinya ada apa dengan lembaga pendidikan kita. Dan sekali lagi, segala bentuk pemaksaan, kekerasan, hanya akan menghasilkan generasi serba salah. Dengan ukuran kejiwaan yang lebih terkena dampaknya, dibanding menjadi terdidik akibat permasalahan ini.
Sehingga fenomena yang dipaksakan kepada anak, bukan menjadi sebuah pilihan, tetapi lebih merusak akal sehat anak, yang akan berdampak pada kejiwaan. Tentu saja yang namanya ‘pemaksaan’ apapun bentuknya, membawa kesakitan, pesakitan, yang menempatkan anak anak dalam situasi yang lebih buruk. Karena mereka butuh tumbuh kembang yang mengedepankan nilai, rasa, karsa, bukan paksa.
Dari fenomena pemaksaan, sebenarnya kita sedang dijauhkan dari pemenuhan hak anak, sebagaimana konsensus kita dalam konstitusi UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak, yang memberikan kesempatan anak terlindung hingga 18 tahun. Dari segala hal yang menganggu tumbuh, kembang, jiwanya
Tetapi malah semakin menegaskan, perihal dosa dosa besar pendidikan yang disampaikan Pak Menteri, yaitu pertama, pendidikan yang memilih ‘melangengkan kekerasan’ sebagai cara mendidik. Kemudian kedua, menyembunyikan kasus pencabulan, pelecehan dan kekerasan seksual. Ketiga, sekolah memilih pendidikan intoleransi yang di susupi berbagai kepentingan yang sulit dipahami anak. Dan terakhir kepentingan bisnis pendidikan yang serampangan dengan menggunakan alasan alasan sensitif, dengan memasukkannya sebagai kebijakan, seperti menggunakan tafsir agama secara serampangan.
Dengan melihat fenomena pemaksaan bukan penyadaran, kita baru menyadari, sebenarnya ruh pendidikan benar benar ‘telah pergi’ dari sekolah sekolah yang berhadapan dengan fenomena ‘jilbab’, baik guru dan murid muridnya, semua hanya di jebak dalam rutinitas, formalitas, bisnis atas kepentingan tertentu dan terjebak rutinitas yang memenjarakan guru dan anak itu sendiri. Tetapi bukan busana terlindungi yang perlu di maknai setiap hari oleh lembaga pendidikan. Bukan memaknainya dengan bisnis bisnis ketakutan, yang cenderung mengarah ke stigma. Anak anak seperti barang, yang muda di nilai, bagus atau tidak. Hukuman lebih nampak bukan cita cita hukum itu sendiri, sebagai kesadaran hukum tetapi mengarah ke stigma orang yang pantas dihukumi.
Kenapa? Karena ruh pendidikan adalah kesadaran jiwa, ketika kesadaran jiwa itu sudah tidak diajarkan di sekolah, maka sebenarnya, meski secara fisik, anak anak hadir di sekolah, tetapi jiwanya telah pergi. Padahal esensi kebutuhan manusia adalah insan yang maunya terdidik, dan menjadi pendidik.
Saya yang beragama Islam, meyakini, Rasulullah saja mengajarkan pendidikan anti kekerasan pada anak. Contoh saat Rasulullah sujud dan dinaiki seorang anak. Rasul menunggu anak itu sampai turun dari sujudnya. Bukan memukul. Makanya saya cukup aneh kalau ada pemandangan rumah ibadah yang meneriaki anak, lembaga pendidikan yang sampai memukul, melukai batin dan fisik, yang alih alih ingin diikuti, sebenarnya sedang beroperasi merusak jiwa anak anak.
Saya kira agama itu harus secara sadar, adil sejak dari fikiran, dalam menyampaikan ajaran. Agama juga bicara pentingnya menanti kematangan anak dalam berfikir dan bertindak dengan tanda akil baligh. Sehingga segala proses pengenalan hijab atau busana muslim, sudah harus diperkenalkan sejak dini.
Karena kita sadar, apa yang dilakukan anak anak hari ini, bukan dari keinginannya, tapi meniru saja. Dan belum tentu apa yang kita anggap buruk untuk anak hari ini, pada saat anak dewasa nanti, ia akan terus seperti itu.
Disinilah harusnya kita melihat fenomena jilbab, bukan sebagai pro kontra, bukan menghukumi anak, hingga mengalami gangguan perilaku dan gangguan kejiwaan, kemudian anak memilih keluar dari sekolah. Karena sudah berulang terjadi persoalan ini. Yang fenomena ini berakhir, ujungnya, anak anak pindah sekolah, anak anak yang semakin jauh dari pembahasan orang dewasa, padahal orang dewasa sedang bahas mereka.
Malah lebih tampak anak anak yang menghindari itu semua, keluar dari sekolah dan mencari jawaban sendiri atas permasalahannya. Artinya kita orang dewasa yang harus mengembalikan pilihan terdidik itu di sekolah, bukan di luar sana.
Tapi kalau kita mau konsisten, terhadap pelanggaran hak anak, jangan terlalu jauh membahas pro kontra, tapi mari membangun diri, para pendidik, agar mengerti esensi kebutuhan jiwa anak, mengerti apa yang menyebabkan melanggar hak anak, sehingga mereka menjauhi cita cita pendidikan.
Karena tegas dalam Undang Undang Perlindungan Anak (baik secara pidana atau perdata), akibat guru tidak punya kompetensi dalam menghadapi anak, sesuai usia, tumbuh dan kembangnya. Bukankah perlu di hukum guru ini, dengan di skors, namun hukumannya tersebut diisi dengan belajar lagi tentang jiwa dan kesadaran anak. Agar ketika kembali ke sekolah, tidak berulang.
Salam Hormat,
*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515