Tidak Ada Anak Yang Tahu, Bahwa Ia Akan Terlahir Dari Keluarga Poligami
Negara kita memandang perkawinan adalah suatu ikatan suci dan ibadah. Untuk itu perlu dijaga dan Negara mendukung melalui pembentukan Undang Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang mensyarakatkan setiap pasangan untuk tunduk dalam rangka mencapai keluarga sakinah ma waddah wa rahmah. Karena hampir semua agama, adat, etnis meyakini proses pernikahan adalah sesuatu yang sakral karena melakukan janji suci kepada Sang Pencipta.
Namun bukan berarti tidak ada konflik dan permasalahan, karena keinginan pasangannya laki laki untuk menikah lagi, yang kemudian diistilahkan dengan poligami. KPAI memandang pernikahan poligami sudah tertuang dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana mensyaratkan persetujuan dari istri pertama dan pemberlakuan adil. Begitu juga dengan Qonun Aceh yang sedang ramai diperbincangkan, tentang posisi Poligami di mata hukum Islam.
Sebenarnya tidak ada yang baru dalam pembahasannya karena masih mengacu kepada UU tersebut. Hanya memang yang menjadi catatan KPAI tentang hak istri atau perempuan yang menjadi calon istri keduanya harus dihormati dan diperhatikan, karena persyaratan yang ketat ada di persetujuan istri pertama. Ruang inilah yang sering jadi masalah, karena ukuran seperti berbuat adil, hak waris perlu diperbincangkan lebih lanjut dan mencatatnya di depan hukum ataupun Notaris. Agar terjaga dan tidak terjadi kekerasan di perjalanannya. Yang dapat berdampak kepada anak anak yang dilahirkan maupun anak anak yang dibawa dari perkawinannya yang pertama. Bayang bayangan permasalahan yang dilanjutkan bibit bibit ingin Poligami sudah mulai terjadi ketika terjadi permasalahan pasca pernikahan (sebelum poligami), proses mencari pasangan calon istri ke dua (transisi menuju poligami), saat menikah kedua (poligami), perebutan kuasa (pasca poligami). Hal hal tersebut alami terjadi, karena situasi yang mulai berbeda dalam satu biduk dua keluarga.
Untuk itu KPAI perlu merespon dan memberi masukan pada pembahasan Qonun Aceh yang sedang berlangsung. KPAI mendata, merekam dan melakukan pengawasan kepada berbagai Lembaga yang melakukan pelayanan pernikahan. Pertama Data KPAI mencatat kasus Keluarga dan Pengasuhan Alternatif menjadi terbesar ke 2 permasalahan anak. Dalam 8 tahun terakhir ada 6015 laporan. Kemudian Data Kemenag mencatat dari 1 juta pasangan menikah ada 500.000 ribu perceraian setiap tahunnya.
Atas laporan laporan ini KPAI telah melakukan pengawasan, memberikan masukan kebijakan, menerima pengaduan, telaah dan kajian, mediasi, data, dan melaporkan kepada pihak berwajib atas pelanggaran hak anak serta bermitra dengan lembaga perlindungan anak. Hal ini dilakukan dengan prinsip mengutamakan kepentingan terbaik anak, setelah proses assessment dan mempertimbangkan kondisi anak. Artinya dalam kasus pernikahan kedua atau pasca poligami kasus kasus ini membayang bayangi setiap suami, istri dan anak yang hadir di dua keluarga tersebut.
Pernikahan kedua seringkali terjadi dibawah tangan dan tidak tercatat Negara atau disebut pernikahan siri. Sayangnya ketika ada masalah baru Negara tahu bahwa pernikahan siri terjadi. Berbagai penyebab seperti pernikahan siri, pernikahan yang tidak tercatat, termasuk pemalsuan identitas pasangan yang akan menikah lagi dan perebutan antar keluarga besar kepada anak mereka.
Artinya tidak ada pencatatan negara, sehingga hak anak terabaikan. Bahkan berujung dampak buruk kepada psikologis anak. Ini dialami baik dari kalangan atas maupun bawah, dengan ekses yang berbeda beda. Namun semuanya berujung pada anak yang diseret seret berkepanjangan dalam kasusnya.
Kita menyaksikan bagaimana perjalanan Poligami yang dianggap tidak terjadi masalah dan tercuat ke public, seperti tokoh agama di Jawa Timur, pemilik restoran Ayam Wong Solo dan kasus anak Machica yang terlahir dari perkawinan siri, kisah kisahnya mencuat ke public dan kita tonton di televisi yang membuat berbagai penilaian.
Untuk itu penting bagi KPAI memberi masukan pada proses pembahasan Qonun Aceh sub perkawinan kedua, karena kawin siri atau perkawinan tertutup merugikan perempuan dan anak. Dan ketika ada masalah, baru Negara diajak menyelesaikannya. Masalah yang timbul dan biasanya menyeret Negara adalah ketika ada masalah proses administrasi anak yang tidak dapat diselesaikan, mengakses Pendidikan, dan hak dasar lainnya.
*Solusi bagi anak jika terlahir di keluarga poligami?*
Sebetulnya anak anak tidak pernah tahu, bahwa akan terlahir dari keluarga poligami. Dan anak anak tidak pernah ingin ditempatkan dalam situasi sulit, terdiskriminasi akibat perkawinan keluarga ini. KPAI juga tidak ada program khusus tentang pencegahan poligami, misalnya. Namun KPAI mandatnya menerima pengaduan, pengawasan, perlindungan, mendorong pemenuhan hak anak dan mereferal kasus kasus yang terjadi pada keluarga.
Setidaknya ada 6 jenis korban anak dari kasus-kasus keluarga termasuk pernikahan poligami di 2018 ini, antara lain anak korban diluar pernikahan 12 kasus, anak korban konflik keluarga 56 kasus, larangan akses bertemu orang tua 98 kasus, anak korban diluar pernihakan 20 kasus, penelantaran anak 33, anak korban penculikan keluarga 46.
Rata rata dari pengaduan diatas, kondisinya berhasil saat mediasi. Karena KPAI melakukan tahapan mediasi dan pendampingan. Yang membuat keluarga besar sadar, orang tua sadar atas situasi ini. Namun ketika keluarga tidak menjalankan hasil rekomendasi KPAI, akhirnya anak berada dalam situasi buruk yang berkepanjangan dan rumit. Juga dijumpai kepada laki laki yang akan berpoligami tidak bisa menerima anak dari calon istri kedua atau janda yang telah memiliki anak (namun sangat kasuistik). Apalagi kalau sudah terjadi kekerasan oleh ayah tiri, ibu tiri dan keluarga besarnya. Yang menempatkan anak berada dalam situasi buruk berkepanjangan. Artinya kasus kasus seperti ini dibayangi oleh perilaku hubungan antar orang dewasa yang sudah menikah, dan menuju Poligami.
Untuk itu proses pembahasan Qonun Aceh, perlu mempertimbangkan persyaratan yang ketat dengan disertai sanksi yang jelas bagi mereka yang akan poligami. Juga penghormatan, pemenuhan dan perlindungan kepada calon Ibu dari anak anak yang terlahir dari keluarga poligami, perlu di jelaskan lebih rinci. Baik yang akan melakukan poligami dan lembaga yang akan mencatatkannya. Agar anak anak yang tidak tahu akan terlahir dari keluarga poligami dapat terselamatkan.