Minat besar anak anak menjadi konten creator dalam berbagai bidang di dunia digital tidak diragukan lagi. Selain konten creator mereka juga menyebut diri mereka sebagai gamers , influencer, buzzer, youtuber, Facebookers, Twitter, Instagramable, bahkan menjadi admin.Pendekatan industry ini banyak melalui minat, hobby anak anak, yang mengikuti tren kekinian. Mereka cepat beradaptasi, membuat, berusaha memviralkan, tanpa berfikir panjang, karena energy mereka yang besar dan harapan besar masa depan dunia digital yang menyasar mereka.
Sebelumnya KPAI menghaturkan duka mendalam kepada generasi digital di Indonesia yang masih kurang terfasilitasi dengan baik. Yang masih sering bertaruh nyawa, hanya karena ketidakpahaman akan membuat konten. Tentu ini menjadi tantangan bagi kita semua. Untuk menyiapkan lebih baik generasi digital native kita.
Tentu sangat menyeramkan melihat keberanian mereka, bila ditanya siapa yang paling bersalah dari peristiwa memilukan itu, apakah supir? apakah 4 anak tersebut? jawabannya tidak tunggal, butuh asessment mendalam, motivasi apa yang menyebabkan anak anak melakukan itu sampai meninggal. Dan situasi supir seperti apa ketika melihat anak anak. Namun seringkali ada anggapan karena keamanan, supir tetap memacu kendaraannya. Karena seringnya peristiwa dihentikan di jalan, atau praktek gratifikasi di jalan, seperti peristiwa pemalakan ataupun aksi premanisme. Yang seringkali menjadi trauma para driver.
Namun tetap saja kita harus berani merasionalisasi, kenapa mereka memiliki motivasi kuat melakukan itu. Apalagi melakukannya bersama sama. Namun saya kira masih banyak misteri dari motif membuat konten tersebut yang harus di asessment lebih lanjut oleh petugas di lapangan.
Apakah fenomena tersebut dapat dihilangkan, tentu saja kita perlu merasionalisasi peristiwa tersebut, merunutnya, dan melihatnya lebih jauh. Bahwa belajar membuat konten tentu sangat mudah ditemui di berbagai platform digital, namun anak anak adalah generasi peniru. Seringkali anak terimajinasi begitu saja, spontan, merasa senang, melihat konten yang dianggap bagus, menantang, viral, tren, langsung mengundang mereka untuk membuat segera. Padahal dibalik yang mereka lihat tersebut, ada proses rekayasa digital, rekayasa situasi dan kondisi, sehingga seperti nampak alami. Padahal belum tentu seperti yang mereka bayangkan.
Sudah bukan saatnya menstigma anak dengan gadgetnya, tetapi dengan perkembangan aplikasi platform digital yang dapat membahayakan dan mengancam anak anak kita, perlu ada kebijakan turunan dari UU ITE dalam menyikapi hak tersebut. Agar dapat aman digunakan, masuk kedalam sistem pendidikan baik di keluarga, sekolah dan lingkungan. dalam bekal bersosial media,berselancar di dunia maya, bahkan keinginan besar mereka, mimpi mimpi mereka, dengan mencari hidup dan meraih masa depan disana.
Disisi lain pertanyaan kritis kita, ketika anak anak sekarang memiliki cita cita sebagai konten kreator, influencer, gamers, buzzer, youtuber, Facebookers, Twitter, Instagramable, dalam berbagai bidang, baik agama, sosial, budaya, politik, ekonomi, atau displin ilmu tertentu, lalu seberapa banyak bisnis pendidikan kita yang siap menjawab ini.
Justru anak anak ketika berada disini, banyak yang terstigma. Paradigma perubahan cita cita ini masih belum maksimal difasilitasi. Padahal kalau kita mau belajar dari negara lain, ketika cita cita anak mereka hanya ingin menjadi pemain sepakbola atau menjadi KPop, justru di jadikan energy bsar untuk membangun keilmuwan lainnya.
Karena di dalam setiap hobby yang menjadi cita cita, disana menuntut pembelajaran bidang lainnya. Justru ini sifatnya pintu pembuka, mempersegar lagi pola pembelajaran lama, sehingga dapat dierima dengan lebih baik, bermakna dan berkualitas. Jangan sampai justru banyak paranoidnya. Harusnya menjadi edukasi, industri, entertainment yang membangun peradaban Indonesia.
Saya kira ini tantangan bisnis pendidikan kita, untuk memajukan berbagai disiplin ke ilmuwan yang berkembang baik secara industri, secara lokal, dan kearifan di Indonesia. Saya kira dunia pendidikan kita harus mulai berkembang ke arah sana, untuk membuka jurusan jurusan baru, yang menjadi tujuan cita cita anak sekarang. Hanya aksesnya yang perlu diperluas, dipercepat, sehingga tidak ada lagi pembuat konten creator yang harus meninggal. Dan dapat meraih cita citanya dan memperdalam setinggi tingginya tentang dunia keilmuwan ini.
Jangan sampai lahan garapan mereka di Indonesia harus mencari mencari SDMnya di luar sana, akibat hobbynya di negara ini dianggap tidak ada basis keilmuwan, tidak tersertifikasi, tidak diakui secara akedemisi di negaranya sendiri.
Kapan Indonesia mau membangun peradaban digital untuk generasinya yang sudah jauh ada disana. Jangan munculnya masih stigma kepada anak anak yang rajin didunia digital. Tetapi mari kita ciptakan, tuntunan bakat dan minatnya agar lebih terarah, bermakna, dan memajukan bangsanya. Dengan itu generasi kita akan memiliki tahu batasan apa yang boleh dan tidak dalam dunia digital.
Kita berharap para pemilik platform terpanggil secara moral untuk bekerjasama, bahkan memiliki rasa kewajiban dengan sekolah, keluarga dan lingkungan. Karena akan sangat berbeda ketika di jelaskan lansung dengan dijelaskan melalui gadget saja. Jadi bila ada aplikasi yang menyampaikan memiliki standar keamanan tinggi, tetapi tidak pernah bersentuhan dengan anak untuk menjelaskannya, maka itu menjadi sesuatu yang sulit diukur, seperti ketika sudah terjadi anak meninggal sekarang. Untuk itu jembatan pendidikan sebagai katalisator, fasilitator, mediator, menjadi sangat penting untuk iklim konten creator yang lebih sehat dan bertumbuh maju dalam peradaban dunia digital kita.
Agar tidak sembarangan saja membuat konten. Namun peran ini agak sulit bila di serahkan kepada orang tua. Karena seringkali di jumpai gap yang besar antara anak dan orang tua dalam pemanfaatan di dunia digital. Sehingga tidak begitu saja meniru langsung dan mempraktekkan nya tanpa literasi, pendampingan, atau alat alat yang dapat mendukungnya.
Saya kira UU ITE kita juga harus ke arah sini ya, ada kewajiban menjaga generasi digital native kita. Jangan sampai justru kejadian seperti di Tanggerang ini menjadi tren yang membahayakan. Karena energi besar anak, seringkali mengalahkan resiko dan ancamannya.
UU ITE kita juga mensyaratkan penciptaan kondisi awal, untuk para penggunanya, terutama anak anak, yang memang tidak bisa ditinggal sendirian dalam berseluncur di dunia maya. Saya kira harus ada upaya kesana ya, sosialisasi, kerjasama, edukasi yang lebih luas bersama para pemilik platform digital, juga para konten kreator.
Sekolah sekolah harus mulai berani membuka kelas atas dasar hobby atau nama aplikasi yang digunakan mereka. Misal saja menjadi kegiatan eksschool namun dalam pengawasan sekolah. Agar generasi digital native kita tidak seperti hutan rimba, diserahkan pada pasar bebas, tanpa harus menyebutnya hanya menjadi eksploitasi ekonomi, dengan tanpa memikirkan keselamatan anak anak. Dan itu benar benar harus di ajarkan, bukan dengan men checklist persetujuan sebelum menggunakan konten, agar aman, itu tidak cukup sama sekali.
Salam Hormat,
Jasra Putra
Kadivwasmonev KPAI
CP. 0821 1219 3515