Pesta demokrasi 5 tahunan terbesar dan serentak dalam sejarah Indonesia mendapatkan perhatian dan keterlibatan banyak pihak. Baik yang berlangsung sebagai tahapan Pemilu, maupun yang menyertainya, seperti munculnya berbagai gerakan pendukung, relawan dan masyarakat
Lazimnya sebuah pesta massal, memang akan sulit dibatasi siapa saja yang hendak turut merayakan. Namun dengan menimbang dampaknya, dari pengawasan KPAI saat Pemilu 2014 dan 2019, pentingnya mengingatkan kepada seluruh elemen masyarakat yang bergerak untuk mendukung para calon peserta pemilu untuk tidak melakukan penyalahgunaan anak dalam kegiatan pemilu.
Dari pemilihan Presiden di 2019 yang melibatkan Data Pemilih Tetap Hasil Perbaikan (DPTHP) -2 pada usia 17 tahun mencapai 4.191.675 anak. Sedangkan anak anak di tanggal pencoblosan masuk usia 17 tahun dan berhak memilih sejumlah 45.634 anak. Dan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Pemerintah yang mencatat ada 7.409.790 data pemilih aktif yang memasuki 17 tahun dan data anak yang memasuki umur 17 tahun saat pencoblosan sejumlah 6.568 anak.
Yang tercatat keterlibatan yang serampangan, tanpa melibatkan anak dalam politik dengan mengendepankan 4 prinsip partisipasi untuk generasi Z dan generasi millennial, telah meninggalkan anak anak sendirian dan menjadi korban terus menerus, baik yang terpapar kekerasan, ujaran kebencian, lontaran yel-yel dengan nada menghujat, politik identitas, persekusi, terjaring aksi anarkis, perbuatan kriminal, hidup berhari hari dijalan, menyerang aparat dan merusak fasilitas publik. Memang kerentanan anak lebih tinggi karena usianya, yang masih belum dapat mengambil keputusan secara mandiri. Selain itu, jumlah anak yang kurang lebih sepertiga dari penduduk Indonesia, maka entitas anak menjadi bagian yang penting bagi bangsa Indonesia, hari ini dan masa yang akan datang.
Sepanjang medio September sampai Oktober pada masa Pemilu 2019 ditandai dengan diamankannya ribuan anak di berbagai aksi massa di Indonesia, di Jakarta sendiri sepanjang medio September sampai Oktober ditemukan 611 anak dari usia setingkat SD, SMP, SMA, SMK dan STM yang terlibat berbagai aksi yang berdampak pada tumbuh kembang anak ke depan yang tidak kondusif dan membutuhkan rehabilitasi jangka panjang.
Bahkan yang lebih mendasar adalah persoalan mendasar, bahwa mereka sejak di mobilisasi atau bergerak dari daerah tercatat sebagai anak anak yang berasal dari keluarga rentan, alias anak anak yang sudah tidak diperhatikan keluarga, riwayat pendidikan yang kurang baik dan putus sekolah.
Mereka justru melampiaskan kondisi, diruang ruang yang tidak aman. Dan saat itu, sebagai orang dewasa dan penyelenggara Pemilu kita cukup gagap, dengan kehadiran mereka di fenomena gerakan generasi Z dan generasi millennial di Pemilu 2019. Bukan dikatakan gagal, melihat massifnya aksi anak anak di partisipasi politik sepanjang 2019, baik pra, jelang, saat dan pasca Pemilu tersebut. Pentingnya partisipasi pemilihan langsung ini diiringi dengan Negara membangun bekal yang cukup dalam cara menyampaikan pendapat. Guna menghindari penyelesaian masalah yang tidak diikuti dengan pengetahuan yang cukup. Karena Negara meyakini jika masalah diselesaikan tanpa pengetahuan, hanya akan menimbulkan masalah baru. Untuk itu 4 prinsip ditekankan dalam rangka membangun partisipasi anak. Dimana anak diperkenalkan, pertama anak dikenalkan dengan kapasitasi isu yang ingin di edukasi, kedua anak di beri kesempatan berekspresi, presentasi dan memberi masukan, dan terakhir keempat anak di beri umpan balik dari apa yang mereka usulkan.
Sesuai undang-undang tentang pemilu, kampaye pemilu memang mencerdaskan dan merupakan bagian dari salah satu sarana pendidikan politik bagi masyarakat termasuk bagi anak didalamnya serta harus dilaksanakan secara bertanggungjawab.
Namun pada praktiknya, sering kali agenda jelang pemilu dibarengi berbagai aksi dan pernyataan elemen berbagai masyarakat, yang menempatkan anak dan melibatkan anak-anak secara aktif, seperti yang terjadi dengan anak membawa bendera besar yang berisi tokoh atau calon tertentu yang ingin di kampanyekan menjadi bagian proses Pemilu. Situasi kampanye dengan cara melibatkan anak sangat beragam, bisa dalam bentuk tontonan, atraksi politik, agitasi, umpatan, fitnah, dan kampanye hitam, dengan memobilisasi anak anak menjadi terdepan (martir). Anak membawa bendera saat aksi kemarin, tentu tanpa sadar menjadi target martir, paling terdepan, diminta berjuang untuk agenda yang kemudian disebutkan sebagai keinginan menurunkan Pemerintahan.
Di agenda pemilihan 5 tahun sekali, seperti di 2019, kita menyaksikan era baru pelibatan anak anak dalam dunia politik dengan pelibatan anak anak pada kampanye politik identitas, menggiring anak turun aksi massa melalui akun medsos komunitas atas nama hobby/minat/public figure/artis/kpop, kemudian aksi massa yang melibatkan anak pada mengugat hasil pemilu, persekusi, juga menolak RKUHP dan RUU KPK.
Setidaknya ditemukan kurang lebih 17 penyalahgunaan anak di setiap ajang persiapan, pra, jelang, pasca pelaksanaan suksesi kepemimpinan, yaitu
Pertama, melibatkan anak untuk ikut menerima uang saat memobilisasi atau menghadiri aksi massa, menerima pembagian sembako maupun sedekah, dan sejumlah indikasi sebagai bujuk rayuan, yang merupakan bagian dari proses menyukseskan paslon yang diinginkan. Yang dapat mengarah ke money politik
Kedua, beralasan mengijinkan anak, menyalahgunakan identitas anak, yang sebenarnya belum berusia 17 (tujuh belas) tahun, namun dilibatkan. Termasuk memalsukan status anak sebagai sudah menikah agar dapat mengikuti aksi massa, Pemilu atau didaftarkan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Ketiga memanfaatkan fasilitas anak untuk kepentingan pemilihan umum, seperti tempat bermain, sekolah, madrasah, pesantren, dan lain-lain;
Keempat memasang foto, video anak, atau alat peraga kampanye lainnya;
Kelima menggunakan anak sebagai penganjur atau juru kampanye untuk memilih calon, bahkan dengan mengeksploitasi anak tanpa anak menyadari ketika dalam kegiatan, yang dimanfaatkan untuk kampanye
Keenam menampilkan anak sebagai bintang utama dari iklan politik;
Ketujuh menampilkan anak secara mencolok, didalam aksi, membaw aatribut, menempatkan anak di atas panggung dalam bentuk hiburan;
Kedelapan menggunakan anak untuk memasang atribut-atribut
Kesembilan menggunakan anak untuk melakukan pembayaran kepada peserta aksi, pemilih dewasa dalam praktik politik uang oleh tim kampanye
Kesepulluh mempersenjatai anak atau memberikan benda tertentu yang membahayakan dirinya atau orang lain, ketika terjadi massa yang chaos, biasanya peralatan yang dibawa dapat menjadi alat membela diri, yang bisa membahayakan anak
Kesebelas memaksa, membujuk, atau merayu anak untuk melakukan hal-hal yang dilarang selama aksi massa, kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara;
Kedua belas membawa bayi atau anak dalam kegiatan politik, begitupun membawa bayi dan anak yang belum memiliki hak pilih ke arena aksi massa atau kampanye terbuka yang membahayakan anak;
Ketigabelas melakukan tindakan kekerasan/eksploitasi atau yang dapat ditafsirkan sebagai tindak kekerasan dalam aksi massa atau kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara, seperti kepala anak digunduli, tubuh disemprot air atau cat, dan bentuk kekerasan/ eksploitasi anak lainnya;
Keempat belas melakukan pengucilan, penghinaan, intimidasi, atau tindakan-tindakan diskriminatif kepada anak yang orang tua atau keluarganya berbeda atau diduga berbeda pilihan politiknya;
Kelima belas memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci seseorang, atau calon,dengan pelibatan ras, suku, agama, budaya, dan pilihan politik
Keenam belas menggunakan anak menjadi pemilih pengganti bagi orang dewasa yang tidak menggunakan hak pilihnya; dan/atau;
Ketujuh belas melibatkan anak dalam sengketa hasil penghitungan suara.
Ketujuh belas peristiwa tersebut merupakan hal yang harus dicegah, selain memolitisasi dan menyalahgunakan anak untuk kepentingan politik. Bentuk pelibatan itu jelas melanggar Undang- Undang Perlindungan Anak Pasal 15 huruf a yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik. Untuk melindungi anak dari aktivitas penyalahgunaan yang tidak mendidik tersebut, KPAI mengharapkan kepada semua elemen yang bergerak dalam suksesi agenda politik sampai 2024 dan para penyelenggara pemilu, memiliki komitmen dalam mewujudkan suksesi agenda politik 2024 yang ramah anak, dengan cara menghindari bentuk-bentuk penyalahgunaan dalam pemilu, dan memperhatikan hak hak anak yang harus didahulukan sebelum melibatkan dalam kegiatan yang mengarah pada politik praktis.
Laporan Global Childhood Report 2019 yang di terbitkan Save The Children, menempatkan Indonesia diperingkat 107 dari 176 negara yang dianggap ramah anak. Sejumlah catatan untuk Indonesia disampaikan agar terus dapat meningkatkan peringkat dengan memberi perhatian dan menjaga anak anak, dengan fokus untuk terhindar dari pernikahan anak, kehamilan anak, gizi buruk anak, anak hidup dalam kemiskinan dan anak beada di pusaran konflik sosial. Bahwa sesuai UU Perlindungan Anak bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan masa kecil yang aman, sehat, dan bahagia, demikian bunyi laporan tersebut.
Pesta demokrasi bagi KPAI adalah sarana pendidikan Pemilu Ramah Anak, agar setiap 5 tahun sekali ada pengarusutamaan hak anak baik dalam proses transisi kepemimpinan, program dan kebijakan saat menjabat, yang dapat dilanjutkan dan berkepanjangan.
Namun ternyata tugas tersebut tidaklah mudah, terutama saat kampanye Pemilu. Karena kampanye tidak hanya terjadi di ruang publik, namun juga masuk ke dalam akun media sosial anak anak. Catatan KPAI seringkali anak anak dan remaja terlibat politik praktis dalam serangkaian kegiatan kampanye.
Artinya pengenalan dunia politik yang secara otomatis memasukkan anak pada diskusi pro kontra yang terjadi dalam pesta demokrasi tentu tak terhindarkan. Hal ini memudahkan anak memperoleh informasi dan akses situasi politik ditanah air. Juga disisi yang lain tidak ada yang bisa menjamin anak anak tidak terpapar berbagai diskusi yang dapat berdampak buruk pada tumbuh kembang mereka.
Pentingnya kembali mengingatkan bahwa Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa sesungguhnya anak merupakan amanah Tuhan yang wajib dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai potensi dan fitrahnya. Kemudian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Yang dilanjutkan pasal 15 huruf a bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam Pasal 280 ayat (2) huruf k menyatakan pelaksana dan/ atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilihan umum dilarang mengikutsertakan warga negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih. Pelanggaran terhadap larangan tersebut merupakan tindak pidana pemilihan umum.
Ada beberapa hal yang harus dipahami oleh semua pihak berkaitan dengan pelibatan anak dalam politik. Mengapa?
Pertama, di dalam UU Pemilu sendiri memungkinkan anak untuk terlibat dalam kegiatan politik. Pasal 19 ayat (1) UU Pemilu menyebutkan; ”Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih”.
Padahal, definisi anak, berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA) maupun UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Maknanya, para peserta pemilu bisa melibatkan anak-anak, termasuk dalam kampanye karena anak-anak berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin memiliki hak pilih. Perkawinan usia anak-anak di Indonesia jumlahnya cukup banyak, secara nasional mencapai 26% dari seluruh perkawinan yang tercatat. (KPAI, Laporan Tahunan, 2016).
Kedua, di dalam UU Pemilu sendiri tidak mencantumkan secara khusus tentang larangan pelibatan anak dalam kampanye. Pada pasal 84 ayat 2 huruf (h) disebutkan, pelaksanaan kampanye dalam kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih. Karena tidak disebut secara spesifik, akibatnya partai politik peserta pemilu tidak sensitif terhadap persoalan anak, dan menganggap keterlibatan mereka sah-sah saja, apakah anak sebagai iklan, anak ikut pawai, bahkan anak-anak yang usianya masih balita dibawa orang tuanya masuk ruangan atau mendekati panggung terbuka untuk mendengarkan orasi para juru kampanye
Ketiga, berdasarkan pesan Konvensi Hak Anak (KHA) yang kemudian diadopsi UU Perlindungan Anak, bahwa prinsip-prinsip Perlindungan Anak adalah; a. non diskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Dengan dasar prinsip-prinsip Perlindungan Anak ini, kita bertanya, apakah pelibatan anak dalam politik pada konteks kepentingan yang terbaik bagi anak dan penghargaan terhadap pendapat anak ataukah eskploitasi anak dalam politik sebagaimana diperingatkan oleh Pasal 15 huruf a UU Perlindungan Anak, bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
Apabila pelibatan anak dalam konteks implementasi prinsip-prinsip Perlindungan Anak, maka justru harus didukung. Sebutlah, bila saat ini UU Pemilu membolehkan Warga Negara Indonesia berusia 17 tahun untuk memilih, ke depan perlu pemikiran untuk memudakan usia pemilih menjadi 16 atau bahkan 15 tahun. Pada tingkat asupan gizi yang cukup tinggi dan pendidikan yang lebih memadai, anak menjadi lekas dewasa, dan pada usia 16 atau 15 tahun sudah cukup layak untuk ikut memberikan pendapat politiknya.
Persoalannya, bila pelibatan anak dalam politik dalam konteks penghargaan pendapat anak, mengapa anak hanya memiliki hak memilih, namun tidak diikuti dengan hak dipilih, dimana persyaratan seseorang untuk dipilih sebagai wakil rakyat harus berusia minimal 21 tahun.
Sedangkan pelibatan anak dalam konteks eksploitasi adalah ketika anak sekedar dijadikan obyek semata, untuk mendatangkan keuntungan politik bagi peserta pemilu, dimanfaankan keberadaannya untuk meningkatkan popularitas, menimbulkan simpati dan empati, bahkan dikerahkan untuk menambah suara dengan cara memalsukan identitas usia anak-anak. Bagaimana keberadaan anak-anak dalam kegiatan maupun iklan politik.
Menurut pendapat KPAI jelas ini merupakan tindakan eksploitasi, karena pelaku mengharapkan keuntungan dari tindakannya dengan tujuan meraih simpati, belas kasihan masyarakat agar semakin populer dan menjadi pilihan.
Lain halnya dengan keikutsertaan dalam kampanye partai politik, bisa dilihat dari dua sisi. Apabila anak-anak dikerahkan oleh parpol menjadi bagian kampanye adalah eksploitasi. Namun apabila kehadiran anak-anak ke-lokasi kampanye dikerahkan oleh guru sebagai bagian dari pendidikan politik dan atau pendidikan kewarganegaraan, hal itu merupakan bagian dari proses pembelajaran demokrasi sejak dini. Namun kecenderungan yang ada, pelibatan anak dalam politik lebih bersifat eksploitasi, karena tidak memperhatikan aturan ruang aman menyampaikan pendapat dan tidak mendahulukan 4 prinsip dalam melibatkan anak dalam partisipasi kegiatan berbau politik.
Sebenarnya negara telah melakukan edukasi kepemimpinan dan pendidikan partisipasi, termasuk dalam hal ini menyampaikan pendapat. Hal ini sudah dilaksanakan sejak dini, dengan negara melalui kementerian atau lembaga yang ditunjuk dimandatkan membuat kebijakan Sekolah Ramah Anak, Pesantren Ramah Anak, Forum Anak Daerah dan Forum Anak Nasional yang didalamnya terdapat indikator pentingnya pelibatan partisipasi anak dan mekanisme tahapan pelibatan anak. Namun kanalisasi ini atau saluran ini masih dianggap sangat sedikit, Meski telah ada berbagai organisasi yang memberi ruang partisipasi anak, maupun yang di selenggarakan Negara melalui forum anak, tapi dirasa masih teramat kurang.
Terutama dalam isu pendidikan berpolitik untuk anak dan remaja yang masih minim dalam ruang penyalurannya. Meski sudah ada program tentang pembahasan atau perwakilan anak di parlemen, namun diskursus politik masih jauh dalam menfasilitasi anak diruang tersebut. Artinya anak anak belajar dunia politik secara bebas, tanpa memiliki narasumber yang mengerti bekerja dengan anak.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kemen PPPA, jumlah Forum Anak hingga Mei 2018 tercatat sebanyak 34 Forum Anak Provinsi dan 418 Forum Anak Kabupaten/Kota. Bahkan beberapa daerah membentuknya hingga kecamatan dan desa/kelurahan.
Forum Anak menjadi wadah memfasilitasi penyampaian pendapat anak. Dengan menekankan 2 aspek untuk anak berperan menjadi pelopor dan pelapor. Namun memang bagaimana Forum Anak menjadi inklusif dan dapat diakses semua anak, masih harus terus diperkenalkan di berbagai unsur pemerintah, Lembaga dan organisasi kemasyarakatan dan lembaga pendidikan. namun sekolah dimana mereka belajar belum tentu mempunyai Forum Anak secara khusus
Di 2014 Kemen PPA, KPU dan Bawaslu, Kemendagri, Bappenas, Mabes Polri dengan KPAI melaksanakan Dekalrasi Thamrin, yang berisi 4 point dengan diawali Demi Mewujudkan Pemilu Ramah Anak, dengan berkomitmen untuk, pertama melakukan sosialisasi, pengawasan, dan pencegahan agar anak tidak disalahgunakan dalam kegiatan kampanye;
Kedua menghimbau kepada calon Presiden dan wakil Presiden, calon anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, serta calon anggota Dewan Perwakilan Daerah agar memiliki komitmen tinggi terhadap perlindungan anak serta tidak menyalahgunakan anak dalam kegiatan politik;
Ketiga melakukan pendidikan politik pemilih pemula (usia 17-18 tahun) agar partisipasi dan hak pilih mereka bisa terjaga secara baik, sehingga demokrasi Indonesia semakin berkualitas dan maju dan
Keempat menghimbau peserta pemilihan umum, kepala daerah, masyarakat, orang tua, serta pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan Surat Edaran Bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Pemilihan Umum RI dan Badan Pengawas Pemilu RI tentang Pemilihan Umum tahun 2019
Namun apakah Deklarasi Thamrin ini telah masuk kedalam pintu pintu rumah dimana terdapat anak anak remaja kita yang terpapar dan terbawa dalam atsmosfer suksesi kepemimpinan, tentu saja ktia sangsi ya, karena hal tersebut membutuhkan effort yang sangat besar, dan membutuhkan menjadi bagian tahapan agenda suksesi kepemimpinan 2024 ke depan.
Untuk itu kita berharap pengalaman 2019, didalam pelibatan anak dalam pelaksanaan persiapan pra, saat pemilu dan pasca pemilu, menjadi refleksi bersama pada pelibatan partisipasi anak yang lebih baik di 2024 nanti Juga sejauh mata memandang bagi para caleg ketika memperebutkan suara millennial, hendaknya mengacu dari praktek praktek baik pelibatan anak melalui Forum Anak, Forum Pelajar Lintas Agama, Organisasi Kemasyarakatan, Lembaga Pendidikan, maupun pengalaman berorganisasi Caleg sendiri.
Negara menjamin anak anak dalam menyampaikan pendapatnya. Dalam Undang Undang Perlindungan Anak Pasal 24 menyampaikan Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Lembaga Masyarakat menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kematangan anak untuk segala hal yang berdampak pada kehidupan dan kepentingan terbaik untuk anak. Negara menjamin bagi anak yang dilibatkan dalam penyampaian pendapat di muka umum, tidak menghilangkan hak-hak anak lainnya.
Namun disisi yang lain Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Lembaga Masyarakat menjamin setiap anak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam kerusuhan sosial dan pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan dengan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 25 “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dimana anak termasuk didalamnya. Yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dalam teknis penyampaian pendapatnya.
Negara menjamin setiap orang untuk berserikat dan berkumpul termasuk anak. Wadah itu yang di jalankan dalam berbagai bentuk pelibatan anak dalam mengenal demokrasi di dunia Pendidikan seperti pemilihan ketua kelas, ketua OSIS, dan melibatkan anak anak dalam organisasi intra dan ekstra melalui sekolah. Di masyarakat pemerintah mendorong Forum Anak mulai tingkat kabupaten/kota, sampai provinsi.
Dari pengalaman berbagai perisitiwa aksi massa yang melibatkan anak, untuk itu lintas Kementerian, Lembaga, organisasi anak nasional dan internasional, ormas kemudian menyikpai bersama melalui pelaksanaan PP 59 Tahun 2019 tentang Koordinasi Perlindungan Anak yang berisi 7 butiran rekomendasi
dalam Strategi Perlindungan Anak Dalam Penyampaian pendapat Di Muka Umum yaitu
Pertama Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Lembaga Masyarakat menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kematangan anak untuk segala hal yang berdampak pada kehidupan dan kepentingan terbaik untuk anak;
Kedua Negara menjamin bagi anak yang dilibatkan dalam penyampaian pendapat di muka umum, tidak menghilangkan hak-hak anak lainnya;
Ketiga Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Lembaga Masyarakat menjamin setiap anak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam kerusuhan sosial dan pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan dengan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Keempat Mendorong peran serta masyarakat dalam upaya perlindungan anak dalam menyampaikan pendapat di muka umum melalui:
a. memberikan ruang kepada Anak untuk dapat berpartisipasi dan menyampaikan pendapat dan bermakna sesuai konteks;
b. melaporkan kepada pihak berwenang dan unit layanan terdekat jika menemukan anak yang terlibat dalam penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam kerusuhan sosial dan pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan yang dapat membahayakan nyawa anak;
c. membantu proses rehabilitasi berbasis masyarakat dan proses reintegrasi anak yang terlibat dalam penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam kerusuhan sosial dan pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
d. mengoptimalkan peran Forum Anak dan Forum Orang Muda Remaja lainnya sebagai sarana edukasi dan aktualisasi partisipasi anak;
Kelima Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai penyelenggara urusan pemerintahan dibidang perlindungan anak menetapkan tim koordinasi perlindungan anak yang bertugas melakukan koordinasi lintas sektoral dan Lembaga terkait serta unsur Lembaga Masyarakat lainnya;
Keenam jika didapati anak berhadapan dengan hukum (ABH), maka proses penahanan, penangkapan, penyidikan, penuntutan dan keputusan hakim harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
Ketujuh Seseorang atau Lembaga yang secara sah terbukti merekrut, memperalat, menghasut, melakukan kekerasan dan menjadikan anak sebagai korban tindak pidana harus diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Meski KPAI dapat melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholders seperti Penyelenggara Pemilihan Umum yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam melaksankan pengawasan penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik.
Koordinasi yang dilakukan bukan hanya dengan stakeholder, tetapi melakuklan koordinasi dengan peserta Pemilu seperti Calon Bupati/Walikota, Calon Gubernur, Calon Presiden dan Wakil Presiden, Calon Dewan Perwakilan Daerah, serta calon legislatif diberbagai tingkatan agar memiliki komitmen yang sama dalam melakukan pencegahan dan menghindari pelibatan penyalahgunaan anak dalam kegiatan politik. Namun ini bukan hal mudah untuk dilakukan, dengan kondisi KPAI yang secara administratif masih sangat terbatas, karena persoalan kelembagaan yang bila di posisikan secara struktur masih di pegang eselon 2. Sehingga perlu upaya ekstra, kreatif, dalam rangka membangun komitmen itu
Meski ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 280 ayat (2) dalam huruf k menyatakan larangan bagi peserta kampanye untuk pelibatan warga negara yang tidak memiliki hak pilih dalam kampanye.
Bahkan Pelanggaran terhadap larangan ketentuan pada ayat (1) huruf c, huruf f, huruf g, huruf i, dan huruf j, dan ayat (2) merupakan tindak pidana Pemilu. Pasal 493 Peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar Larangan pelaksanaan Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun kurungan penjara dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Kemudian Undang Undang Perlindungan Anak pasal 76 H yang menyatakan anak yang di dilibatkan dalam kegiatan politik dan anak yang tidak mendapatkan pelindungan jiwa memiliki akibat hukum. Akibat hukum yang timbul karena hal tersebut, tercantum dalam Pasal 87 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak setiap orang yang melanggar ketentuan dalam pasal dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000. Oleh karena itu, pengawasan pelibatan anak dalam kegiatan politik ini berimplikasi pada kriminalisasi, walaupun demikian dalam ketentuan pidana tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit terkait tindak pidana pelibatan anak dalam kegiatan politik. Hal ini dapat mengakibatkan kekosongan hukum pelibatan anak dalam kegiatan politik dan sangat dikhawatirkan orang yang melakukan pelibatan anak dalam kegiatan politik tidak memahami ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku yaitu Pasal 15 huruf a Undang- Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pelibatan anak dalam kegiatan politik dilakukan oleh orang dewasa yang ingin mencari kemudahan dalam melibatkan anak dalam kegiatan kampanye, aksi massa, Tapi dengan 55 kasus yang diterima KPAI sejak 2014 dan 2019, sulit sekali menjalankan penegakan undang undang. Bahkan dengan 4 korban di Bawaslu pada saat itu, sampai sekarang tidak ada yang bisa dibawa ke meja hukum
Berbagai pelibatan anak dalam kegiatan politik yang berbetuk kampanye terbuka, kampanye tertutup, rapat umum terbuka atau tertutup, pawai atau arak-arakan dan lainnya tersebut, menjadi sangat penting sejak awal, menjadi catatan penting para peserta pemilu dan bagi para pendukung, untuk berkomitmen bersama dalam suksesi kepemimpinan pemilu serentak yang ramah anak.
Ramah Anak dimaksud adalah komitmen mewujudkan masa depan yang lebih baik, berkualitas, dan menjamin anak anak mendapatkan keberpihakan dalam masa tumbuh kembangnya yang masih sangat membuthkan penciptaan lingkungan yang kondusif, agar dalpat selamat di usianya yang matansg ke depan.
Tahun 2019 KPAI juga membuat Deklarasi Komitmen Bersama Mewujudkan Indonesia Ramah Anak bersama Partai Politik Bersama KPAI, KPU dan Bawaslu yang berisi
Pertama Mendukung upaya perwujudan Indonesia Ramah Anak melalui berbagai instrumen kebijakan baik di pusat maupun daerah.
Kedua Tidak menyalahgunakan anak dalam Tahapan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019,
Ketiga Menyiapkan dan mendukung Calon Legislatif, Calon Presiden dan Wakil Presiden, yang responsif dan berkomitmen tinggi terhadap perlindungan anak.
Keempat melakukan pendidikan politik pemilih pemula (anak usia 17-18 tahun) yang berkualitas, agar demokrasi Indonesia mengalami kemajuan yang terbaik, dan
Kelima Merealisasikan komitmen perlindungan anak, baik dalam melakukan tugas di legislatif maupun eksekutif, termasuk pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) yang merupakan kewenangan pimpinan daerah.
Hanya sayangnya komitmen ini tidak mudah dijalankan, selepas selesai suksesi kepemimpinan. Masih butuh terus diingatkan, karena upaya bersama mengingatkan pengawasan perlindungan anak di daerah, melalui berdirinya KPAI di seluurh Indonesia, masih sulit dilakukan, karena pertimbangan berbagai hal. Sehingga komitmen nomor 5 ini, harus kembali diingatkan, ditengah begitu banyaknya KPAD yang tutup didaerah, ditambah JR di MK yang menolak usulan kewajiban KPAD di seluruh Indonesia.
Sehingga perlu upaya lain dalam meningkatkan sinergitas pengawasan agenda suksesi kepemimpinan jelang 2024 melalui lembaga KPAI, baik membenahi secara kelembagaan, instrument dan mekanisme pengawasan yang lebih efektif, terutama harapan besar negara pada agenda 2024 agar semakin berkurang keterlibatan anak
Tentu masih ada kesempatan, bila peristiwa awal anak membawa bendera besar ini dapat menjadi tindakan cegah bersama, dengan telah disyahkanya proses seleksi Komisioner KPAI oleh Komisi 8 DPR RI. Masih ada waktu untuk memperbaiki kelembagaan pengawasan ini, untuk itu KPAI mengajak semua pihak, kembali kepada implementasi berbagai kebijakan yang telah di cita citakan sebelumnya, dengan mengingatkan kembali komitmen dan dukungan pengarusutamaan kepentingan terbaik anak dalam rangka menyelematkan anak anak pada suksesi kepemimpinan 2024 dengan baik.
Artinya masih banyak anak yang belum tersentuh prinsip prinsip partisipasi anak, begitupun orang dewasa tidak mengerti bahwa pentingnya menfasilitasi anak dalam penyampaian pendapatnya, karena itu bagian dari pertumbuhan anak yang perlu di kenalkan dan di fasilitasi. Dengan jumlah anak yang mencapai sepertiga jumlah penduduk Indonesia
Tentunya dengan seorang anak 16 tahun membawa bendera besar salah satu tokoh, menjadi kemasan atau cerita, politik terbaru dalam melibatkan anak anak di kegiatan aksi massa dengan agenda menurunkan Presiden Jokowi oada beberapa hari lalu. KPAI selalu mengingatkan pelibatan anak anak pada aksi massa jangan sampai melupakan hak hak mereka.
Memang memasuki tahun 2024 pada agenda suksesi kepemimpinan. Saling kunjung. silaturahmi yang dibarengi safari politik, menjadi agenda penting partai politik dan pendukungnya. Untuk kembali menjajaki berbagai kerjasama untuk kepentingan dukungan. Dalam rangka menempatkan para capres di ruang di hati pemilih.
Saya kira ditengah safari, kunjungan atau silaturahmi politik, penting kembali mengingat dengan berbagai peristiwa kekerasan yang masih tinggi di dalam lembaga pendidikan, lembaga pesantren dan sekolah berasrama dengan berbagai bentuk Isu pesantren, yang menjadi konsen media dan masyarakat dalam berbagai pemberitaan. Seperti isu penyelesaian kekerasan di ranah prvat, kekerasan seksual, bahkan terakhir seorang guru mengedarkan uang palsu, soal permasalahan pengasuhan yang dibutuhkan anak di lembaga berasrama yang lebih kental di dekati dengan kedisplinan, peraturan dan hukuman, yang berakhir menjadi serangkaian kematian anak di lembaga.
Sehingga kehadiran para tokoh harapan bangsa pada agenda suksesi politik 2024 diharapkan dapat mengobati dan membangun harapan anak Indonesia. Karena kita menyadari disetiap safari, silaturahmi, kunjungan baik tertutup ataupun terbuka, di belakang panggung ada barisan tamu tamu cilik yang punya harapan besar masa depan yang lebih baik.
Mereka punya harapan dan tantangan besar, bahwa ada perubahan dan adaptasi cara melindungi anak, yang ingin kita orang dewasa mulai membangun kapasitas mereka, agar lebih kuat, mampu dan memiliki daya tahan, seperti isu perlindungan anak di dalam isu perubahan iklim dan kesehatan, membangun keterampilan pola pengasuhan jaman modern yang lebih banyak dengan mengikuti pertumbuhan gadget, membangun lingkungan yang mendukung anak dengan keterlibatan bersama sama antara orang tua, pengasuhan dan pendampingan. Sehingga ada arsitektur pembangunan anak ke depan, yang pelan pelan bisa menjawab kebutuhan modal tumbuh kembang anak yang dapat digerakkan secara optimal.
Kalau jawabannya masih cara belajar lama, baik di ruang keluarga, ruang formal, ruang sekolah, tentu kita sedang mewarisi cara lama, yang belum tentu bisa menjawab permasalahan anak dalam persaingan global ke depan.
Tentu saja Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai independent state bodies yang telah melakukan berbagai upaya baik advokasi maupun pengawasan untuk memastikan agar aksi massa, penyelenggaraan tahapan pemilu, lebih patuh pada norma dimaksud, mempertimbangkan prinsip-prinsip perlindungan anak dan menghasilkan calon terpilih yang responsif perlindungan anak. Dengan 63,4 juta keluarga, 79.075 Desa atau Kelurahan, 6.793 Kecamatan, 514 Kabupaten atau Kota dan 34 Propinsi
Salam Hormat,
Jasra Putra
Kadivwasmonev KPAi
CP. 0821 1219 3515