Sendirian anak berteriak minta tolong di kandang harimau, itulah yang terbayangkan dari Gang Rape 7 orang yang memaksa korban mau melayani apapun keinginan bejat para pelaku di daerah kekuasaannya TKP ‘hutan probolinggo’. Tentu sangat mengerikan. Siapa yang akan mendengar teriakan minta tolong di hutan. Lalu apakah situasinya akan terus begini?
Anak adalah insan yang belum bisa membela diri sepenuhnya. Anak adalah pribadi yang mudah di kuasai, akibat kondisi fisik, kognitif atau pemahaman dan emosi yang masih membutuhkan ruang belajar, bertumbuh dan berkembang dan figur yang menetap. Namun jika situasi orang tua, sekolah dan lingkungan kurang perhatian pada masalah esensial anak. Maka menjadi penyebab akar masalah, sehingga menghambat kecerdasan emosinya, yang berakhir pada situasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Data KPAI mencatat Anak Korban Kejahatan Seksual periode Januari sampai November 2022 sudah mencapai 419 laporan yang masuk. Probolinggo juga melaporkan sepanjang 2022 dilaporkan 22 kasus kekerasan anak, yang didominasi 18 kasus dengan korban perempuan, yang diantaranya adalah 13 kasus kekerasan seksual. Dengan para pelaku yang sudah di kenal korban sebelumnya. Artinya apa? Mereka adalah orang orang terdekat yang ada, tetangga terdekat, keluarga besar, sekolah dan lingkungan bagi para korban. Artinya harus ada peran bersama dalam cegah pengulangan kasus kejahatan seksual, terutama bagi para korban ketika kembali di tengah masyarakat. Perlu ada yang disiapkan. Namun hal ini tidak mudah untuk di jelaskan kepada lintas usia dalam satu keluarga besar, tetanga, sekolah dan lingkungan. Perlu ada upaya, tahapan, sistemik dan dipisahkan antar generasi dalam penjelasannya.
Peristiwa korban yang di rudapaksa 7 pelaku di hutan, kita patut merespon dengan cepat, karena korbannya mau berbicara. Dan layanan terhadap korban, sangat menentukan, keluarga dan korban lainnya mau melapor. Artinya, kita sedang membayangkan berapa lama hutan dijadikan tempat Gang Rape mereka. Apakah korbannya hanya ananda RAL saja? Karena seringkali kasus kejahatan seksual anak di suatu daerah adalah fenomena gunung es, yang terbaca kita semua anak anak yang berani melapor saja. Menurut pemerintah setempat dari tahun 2021 kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan. Artinya perlu ada upaya lebih serius dari pemerintah setempat untuk menguranginya.
Pemerintahan setempat melaporkan Pelaku Kejahatan Seksual Anak di Probolinggo selama setahun di dominasi orang dekat dan sangat dekat, baik dekat dengan mengenal, percaya, tetangga ataupun pengganti orang tua, sudah biasa ikut seseorang. Artinya potensi orang menjadi pelaku bisa terjadi di mana saja. Lalu bagaimana kesadaran masyarakat terdekat kepada persolan ini, ini yang jadi pekerjaan rumah yang besar, apakah bisa dicegah untuk tidak berulang, apalagi dengan luasnya daerah hutan. Tentu perlu inisiatif lintas peran, lintas profesi, lintas masyarakat, yang terdekat, untuk melakukan gerakan penghapusan kekerasan seksual di daerahnya.
Sudah saatnya tata ruang dan peruntukkannya kembali di lihat, terutama para pemilik areal hutan dalam ikut berperan aktif dalam pencegahan dan edukasi masyarakat. Dengan pemberdayaan peran peran masyarakat yang ada di area hutan, apa yang bisa di musyawarahkan oleh perangkat desa setempat untuk berbagi peran. Agar hutan tidak menjadi tempat persembunyian kejahatan. Karena jangan sampai kasus ini berlalu, dan tidak ada yang memetakan kembali tata ruang terdekat dari hunian. Karena korban akan berpotensi kembali menjadi korban, dari pengalaman yang ada.
Saya kira perlu penelaahan lebih lanjut, kasus kasus kejahtan seksual anak di Porbolinggo. Orang tua dapat mengecek kepada anaknya masing masing. Agar bila ditemukan korban, dapat segera mendapatkan penanganan yang tepat. Karena para ahli menyampaikan dalam Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang Undang nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi undang-undang, yang dinyatakan situasi korban kejahatan seksual pada anak dapat mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular.
Di masa depan bisa terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau bila tidak tertangani jangka panjang korban dapat meninggal dunia. Artinya korban sangat butuh perspektif penanganan jangka panjang. Ini menjadi kewajiban Pemda agar melengkapi fasilitas penanganna kekerasan seksual sesuai mandat UU TPKS, agar semakin lengkap jaminan untuk korban. Karena bila tidak, seperti yang disampaikan para ahli, akan menjadi situasi yang lebih buruk
Dalam PP 78 tahun 2021 dijelaskan Anak Korban Kejahatan Seksual adalah Anak yang mengalami pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, dan pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. Yang kemudian dilanjutkan pasal 3 bahwa Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada anak korban kejahatan seksual.
Kita berharap korban telah mendapat visum lengkap ya, karena tidak hanya melihat pasca kekerasan seksual saja, tetapi dengan 7 orang pelaku yang punya riwayat kesehatan masing masing, tentu bisa di cek para pelaku, apakah memiliki riwayat penyakit menular seksual, HIV, begitu juga korban apakah juga terpapar dari pelaku. Kemudian cek potensi kehamilan yang tidak diinginkan, tes tetanus.
Kemudian tahapan korban selanjutnya juga mendapatkan edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan, rehabilitasi sosial, pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan dan pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Saya kira tahapan yang benar kepada setiap korban penganan kekerasan seksual menjadi penting, agar proses beriringan dengan proses pemulihan, proses hukum, dan proses penting lainnya yang dibutuhkan korban, agar tidak ada yang tertinggal. Karena dari pengalaman proses awal sangat menentukan keberhasilan proses selanjutnya dan sebagai penunjang pemulihan korban di masa mendatang.
Dalam Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pasal 24 korban memilki hak mendapatkan layanan pemulihan dan penggantian atau pembayaran (restitusi) karena penderitaan yang membutuhkan pendampingan jangka panjang. Dan proses hukum juga berada di ruang yang hidup, dengan ancaman untuk para pelaku, bila korban di masa proses hukum dan masa depan mengalami situasi pemburukan.
Semoga visi penghapusan kekerasan seksual pada anak anak segera terwujud di Probolinggo, dengan penegakan hukum, pemberian akses keadilan, akses penanganan, dan keberpihakan para korban jangka panjang, dalam memastikan lingkungan yang lebih aman, nyaman dan menjamin masa depan yang lebih baik untuk generasi bangsa. Begitupun kita berharap ada gerakan dan dorongan bersama di masyarakat dalam melakukan pencegahan, edukasi sejak awal. Sehingga semakin banyak masyarakat menjadi pelopor dan pelapor dalam cegah dan tangkal kejahatan seksual pada anak.
Tentu kita apreasiasi selama ini para petugas, P2TP2A, Kepolisian Probolinggo yang bekerja dalam kasus kekerasan seksual dengan memperhatikan kode etik bekerja dengan anak korban, seperti assessment satu pintu, sehingga tidak ada penjelasan berulang oleh para korban. Menjaga segala kerahasiaan yang dapat mendekatkan ke identitas korban, kecuali kepada yang berwenang dan ditugaskan serta memberi tempat yang aman dan nyaman sementara untuk korban dalam masa proses hukum dan pemulihan.
KPAI berharap situasi rumah korban dan rumah pelaku juga menjadi bagian yang didorong dalam upaya pencegahan, upaya hukum, upaya pemulihan dan upaya rehabilitasi yang tidak putus ditengah jalan. Sehingga ketika korban proses reintegrasi, lingkungan yang mendukung sudah tercipta untuk korban.
Dari pengalaman KPAI kepada anak berhadapan dengan hukum, baik pelaku, saksi maupun korban, ada persoalan panjang yang sudah di alami anak sebelumnya, namun mengalami kesulitan penanganan. Ada yang sudah tertangani, namun pengawasan selanjutnya ketika di serahkan kepada keluarga kurang siap. Sehingga ke depan sangat penting ada tempat sosialialisasi dan mitigasi pencegahan kekerasan seksual, pendidikan kesehatan reproduksi, dan edukasi pencegahan kekerasan seksual.
Karena tidak mungkin di cegah, pada saat kasus terjadi, karena akan hanya jadi pemadam kebakaran. Tapi harus ada upaya sistemik sebagaimana mandat UU TPKS, menjadi bagian edukasi sejak dini, dan ini tidak cerita hanya an sih kasus kekerasan seksual. Tetapi bagaimana mengenalkan sejak dini alat redproduksi dan kesehatannya. Membangun lingkungan proaktif pada pencegahan kekerasan seksual, seperti penyediaan tempat pusat tumbuh dan kembang anak di pedesaan, menyediakan ruang yang aman dan nyaman sebagai pusat konsultasi keluarga dan konsultasi anak. Memetakan kembali ruang hunian dan ruang rentan lainnya, memiliki mitigasi ketika terjadi kekerasan seksual.
Agar anak anak sejak dini dikenalkan dan mengerti menyelamatkan diri, dalam mencari rumah perlindungan, rumah rujukan, dan berperan aktif dalam menyelesaikan masalah keluarga.
KPAI juga selalu mengingatkan, pengasuhan di masyarakat era tekonologi dan informasi berubah drastis dan cepat. Sehingga sangat mempengaruhi pertumbuhan di berbagai level usianya. Mereka sangat cepat mendapatkan informasi dan beradaptasi. Sehingga menuntut pembekalan, informasi, edukasi dan penanganan yang lebih cepat, dalam segala aspek. Karena bila informasi telat, akan sangat merugikan anak.
Kondisi ini menyebabkan bentuk pola pengasuhan berubah cepat, harus ada yang di respon pemerintah dengan lebih baik dalam menjaga ketahanan keluarga kita. Untuk itulah ada tuntutan menyegerakan RUU Pengasuhan Anak untuk di syahkan, meski negara telah memiliki PP Pengasuhan Anak, namun perlu aturan yang memayungi lebih tinggi, agar kepastian pengasuhan yang sangat beragam di era ini, dapat terakomodasi, teredukasi dan melapisi ketahanan keluarga pada berbagai pola ragam pengasuhan.
Karena bila masalah yang ada di keluarga telat di deteksi, maka kita akan terus ‘tidak bisa mengurangi’ peran sebagai pemadam kebakaran, akibat kasus yang melimpah, dan peran peran terdekat kurang berfungsi dan di mampukan dengan baik. Saya kira legislatif harus duduk kembali menguatkan aturan pengasuhan anak yang sudah ada, untuk ditingkatkan menjadi Undang Undang. Agar memenuhi kebutuhan keluarga saat ini.
Salam Hormat,
*Jasra Putra*
Kadivwasmonev KPAI
CP. 0821 1219 3515