KPAI mengapresiasi laporan cepat Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang segera kembali melaporkan 2 kasus gagal ginjal akut pada anak 1 tahun dan 7 tahun. Kita tentu ingin menurunkan angka kesakitan pada anak, apalagi penyebabnya obat yang harusnya memperingan dan menyembuhkan. Dengan kondisi satu meninggal dan satunya lagi anak sedang dalam perawatan.
Data Tahun 2022, ada 324 Bayi, Batita, Balita dan anak yang dinyatakan GGAPA (Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal), maka ditambah 2, menjadi 326 anak, yang dominan terkena adalah umur bayi dan balita. Lalu pertanyaannya, bagaimana kondisi pengobatan mereka semua sekarang.
Sejak ditemukannya kasus di Tahun 2021 sampai Tahun 2023, berbagai upaya telah dilakukan, diantaranya Kemenkes mengeluarkan surat edaran pada Oktober 2022 yang berisi mekanisme rujukan, penanganan, dan menunjuk Rumah Sakit yang bisa menangani. Presiden juga telah berjanji menyelesaikan dengan memberikan 4 arahan kepada Kementerian dan Lembaga terkait pada 24 November di Istana Bogor, kemudian Menteri Kesehatan telah menemukan obatnya pada 22 Oktober dan dikatakan telah selesai. Kepolisian juga berusaha pengungkapan kasus.
Namun terungkapnya tambahan 2 penderita anak tersebut, menjadi pertanyaan besar, apakah kebijakan itu telah benar-benar efektif dan telah dievaluasi. Bagaimana mendorong janji Presiden tegak lurus dijalankan bawahannya pada anak-anak yang menjadi korban GGAPA ini.
Saya kira peristiwa ini menjadi tanggung jawab penuh dunia pengawasan perlindungan anak, dunia pengawasan peredaran obat dan makanan, kedokteran dan farmasi, Aparat Penegak Hukum (APH) kita. Peristiwa ini bertali temali, karena leading sektor ini harus bisa bekerjasama, agar tidak kembali terjadi pengulangan yang tidak perlu, apalagi ini menyangkut nyawa bayi, karena korbannya banyak bayi, yang sudah di posisi lemah dan tidak bisa membela dirinya sendiri, kemudian di tambah dan dilemahkan kembali. Tentu penting sekali para pihak duduk bersama.
Komnas HAM dan KPAI punya kewajiban mengungkap hak warga negara yang hilang pada kasus ini, begitupun KPAI punya tanggung jawab tentang hak tumbuh kembang anak dan hak kesehatan. Yang harusnya menjadi hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Ini ada hak-hak warga negara yang hilang loh, tidak sedikit, ada 326 orang, dan yang dihilangkan hak anak-anak yang tidak bisa membela dirinya sendiri.
Persoalan pasien menolak mekanisme rujukan, kami meminta ini dilihat lebih utuh ya, karena tentu saja dengan pelayanan yang terbatas atau tidak ada perkembangan perubahan kesehatan pasien, maka pasien khawatir. KPAI berharap ada yang memberikan nomor kontak keluarga, sehingga bisa memanggil keluarga pasien.
Karena mekanisme rujukan ini yang mengerti rumah sakit, bahwa ada surat edaran Kemenkes yang menunjuk fasilitas penanganan GGAPA, apakah sejak pasien masuk Puskesmas, kemudian pindah ke RS Adhyaksa, kemudian pindah lagi ke RS POLRI, sejak awal terlaporkan dan dipantau Kemenkes dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, karena ini penting ya terkait surat edaran dan bagaimana implementasi kebijakan pelaksanaan sejak awal ditemukan anak menderita karena minum obat.
Kemudian keterangan rilis Kemenkes, terkait keluarga membeli obat yang dibeli secara mandiri, artinya mau bilang keluarga tidak konsultasi tenaga kesehatan. Tapi kita mohon lah, kita punya lembaga BPOM, untuk mengecek dulu, obat apa yang dibeli, apakah perusahaan obat tersebut sudah terdaftar, Bagaimana pengawasan BPOM pada kasus-kasus sebelumnya, Seperti apa pengawasan BPOM baik untuk obat maupun makanan dari hulu sampai ke hilir.
Ini tidak nalar, ketika keluarga berharap anaknya sembuh dengan minum obat, dan tentu obat anaknpunya kandungan yang aman ya, andaikan salah minum obat, apakah harus sampai gagal ginjal. Artinya ini sudah masuk ranah criminal kejahatan ya. Masyarakat tentu menuntut pengawasan obat anak, rekomendasi tenaga kesehatan atas obat, sampai penjualannya benar-benar diperhatikan. Tanpa harus bilang dibongkar ya, karena ini peradaban obat kita akan seperti apa kedepan, terutama obat untuk anak, yang tidak bisa mendeskripsikan kesehatannya apalagi anak diharap tahu kandungan obat, ini kan tidak mungkin.
Sehingga kembalikanlah pengawasan obat dan makanan untuk anak tegak lurus, akan seperti apa kedepan, BPOM telah meminta mengajukan revisi RUU BPOM ke DPR RI, apakah RUU ini berisi untuk mengatasi lubang-lubang perlindungan anak dalam perebutan industri farmasi obat? Ini penting agar masyarakat tahu dan bisa mengukur, sejauh mana wewenang pengawasan obat dan makanan.
Saya kira kebijakan Kemenkes sudah jelas, sebagai pihak yang akan membayarkan fasilitas kesehatan kepada rumah sakit, tapi dengan orang tua tidak nyaman dan menolak, tentu apa yang sebenarnya terjadi, perlu asessment utuh persoalan penolakan rujukan ini, kemudian orang tua kembali ke RS lagi.
Artinya disini penting kesiapan Kemenkes untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kebijakan Surat Edarannya dengan memotret berulangnya 2 korban, agar pembunuhan anak dengan meminum obat tidak terjadi lagi.
Dari RS, harusnya bisa melihat, seharusnya sudah tahu, ada sistem rujukan yang baku dengan Surat Edaran Kemenkes, berarti kalau pasien tidak nayaman, ada yang tidak jalan, atau tidak bisa dipenuhi, dapat disampaikan ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Untuk itu Dinas Kesehatan DKI harus turun tangan membenahi mekanisme rujukan, karena kalau telat, pengalaman kemarin kita tahu akan menjadi Kejadian Luar Biasa. Meski kebijakan KLB adalah untuk penyakit menular, tapi dengan pengulangan ini, harusnya ada revisi tentang KLB ya. Agar menjadi perhatian sebagaimana arahan Presiden agar yang menanganinya tidak menganggap peristiwa sepele.
Untuk itu KPAI akan mendorong Kemenkes untuk segera melakukan monitoring dan evaluasi, karena kebijakan penanganan GGAPA sudah sangat jelas, tetapi kenapa dilapangan masih terjadi. Apa ada sesuatu yang belum disampaikan kepada masyarakat, rumah sakit, dan pasien, sehingga masih terjadi kembali. Apakah akan berhenti dikasus ini atau masih ada yang lain. Sejauh mana sistem rujukan bagi anak-anak yang terkena ini, bagaimana penanggulangan yang telah berjalan di BPOM.
Saya kira penelusuran Kepolisian sudah sangat jelas, perusahaan yang terlibat juga sudah terungkap, begitu juga perusahaan produksi obat sirup Praxion sebagaimana bunyi rilis Kemenkes. Padahal obat ini sudah dinyatakan aman oleh BPOM RI berdasarkan rilis BPOM RI pada Lampiran II Penjelasan BPOM RI Nomor HM.01.1.2.11.22.179 tanggal 17 November 2022 tentang Informasi Kesembilan Perkembangan Hasil Pengawasan dan Penindakan terkait Sirup Obat yang Mengandung Cemaran Etilen Glikol/Dietilen Glikol. Seperti apa pengawasan BPOM RI? Kenapa setelah obat dinyatakan aman, lalu ada kasus GGAPA yang mengkonsumsi obat tersebut.
Bahwa 326 keluarga pasien ini berhadapan dengan korporasi besar, ini tidak mudah, apalagi ada kelalaian, dan saya kira penggantianpun kepada hak warga negara yang hilang , terutama bayi, tidak serta merta menghilangkan pidananya ya. Saya kira mekanisme pengawasan negara hukum harus berjalan, mengevaluasi semua kebijakan di GGAPA. Apa yang terjadi harus diungkap, baik di pemerintah, rumah sakit, stakeholder dunia kesehatan, pengawasan peredaran obat dan makanan, mekanisme rujukan, fasilitas kesehatan, obat, termasuk peran NHRI dalam mengawasi ini semua, perlu merekomendasikan yang tepat kepada pemerintah agar tidak terulang kembali.
Sampai rilis ini disampaikan, KPAI mendapatkan laporan kembali anak menjadi korban akibat GGAPA di Solo. Mari kita lakukan kembali pengawasan, monitoring, evaluasi dan sosialisasi bersama, agar obat-obat tidak aman segera ditarik. Dan ini butuh partisipasi banyak pihak, jangan sampai peristiwa-peristiwa seperti ini telat dilaporkan, dalam berbagai jalur distribusi, peredaran dan penanganan, karena sangat cepat mendatangkan jumlah kematian, korbannya bayi yang lemah dan di lemahkan.
Saya kira Presiden akan segera melakukan monitoring dan evaluasi dari efektifitas kebijakan, implementasi dan pengawasan penanganan GGAPA. Agar mengurangi angka kesakitan pada anak Indonesia yang berpotensi minum obat sirup yang masih beredar dan mengancam pembunuhan. Hak-hak konstitusi warga negara hilang ya, mulai hak dasar atas upaya jiwa dan hidup di kesehatan.
Seharusnya para 326 korban ini masuk LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) semua ya, agar semua dibela negara, karena hak warga negara yang dijamin konstitusi hilang, mulai dihilangkan nyawa karena kesalahan yang sudah ada, pertama panduan kebijakan dalam kandungan obat, kedua penderitaan panjang atas kehilangan nyawa, ketiga upaya keluarga baik harta, jiwa, psikis, tekanan dalam upaya menghilangkan kesakitan anak dan kehilangan anggota keluarga yang amat dicintainya yaitu bayi, kemudian beban melawan korporasi-korporasi besar farmasi yang tidak mungkin sendirian, dan kasusnya terlalu lama bertele-tele dan sangat panjang, menghabiskan energi keluarga.
Keluarga-keluarga ini takkan sanggup menghadapi korporasi besar seperti ini. Andai restitusi, harusnya kelalaiannya tetap dipidana. Jangan sampai tenggelam kasusnya, dan ada pengulangan lagi. Artinya peradaban industry farmasi, dunia kesehatan, rumah sakit, kita harus berbenah. Karena nyawa satu anak terlalu banyak, apalagi 200-an lebih yang meninggal akibat minum obat. Sekali lagi kata Presiden persoalan ini jangan dianggap sepele.
Persoalan GGAPA ini adalah tanggung jawab kita semua, kita harus berbagi peran, sebagaimana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 45 bahwa orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Kemudian pasal 2 dalam hal orang tua dan keluarga tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana yang dimaksud maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhinya.
Salam Hormat,
Jasra Putra
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3414