Saya kira RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga adalah RUU yang termasuk sangat panjang diperjuangkan sejak 2004. Namun pernyataan Presiden Jokowi terakhir pada Januari 2023 yang mendukung percepatan penetapan RUU PPRT.
Ini seperti membayar peradaban yang telah berlumpur sekian lama, untuk membebaskan perbudakan atas nama pekerjaan di abad modern yang dihiasi simulacra digital dan informatif ini. Seperti berjalan di gurun pasir yang tandus, tiba tiba ada secercah mata air. Yang tentu disambut mereka yang lemah dan dilemahkan, karena selama ini tidak memiliki jaminan pekerjaan, kecuali jika majikannya punya niat baik.
Namun kerja PPRT ini, kita tahu selalu menjadi berita hangat dan menjadi perhatian khusus, juga dramatis, miris dan memprihatinkan, karena dampak pekerjaan sebagai PRT.
Namun ternyata PRT juga ada anak. Tentu dengan gambaran resiko pekerjaan tersebut, anak akan menjadi korban yang menakutkan ya, pengalaman sangat traumatis dan mengerikan, jika tidak diperhatikan dan diawasi.
Karena pekerjaan sektor domestik ini yang paling banyak di masuki anak anak, karena model perekrutannya yang mudah tanpa perlu ijazah/sertifikasi keahlian tertentu, bahkan di mulai dari orang tua dan saudaranya sendiri yang memberi dorongan, merekrut dan mengupayakan agar bisa bekerja.
Memasuki tahun 2020, persoalan pekerja anak semakin kompleks manakala wabah pandemi covid-19 berdampak signifikan terhadap ekonomi dan sosial. Terutama bagi mereka yang rentan secara ekonomi. Hal ini menimbulkan dampak domino pada pekerja anak dan keluarganya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2022 menyebut pada periode 2017-2022 terjadi 2.637 kasus kekerasan dan eksploitasi pada perempuan dan anak. Sebesar 45% dari kasus itu adalah kekerasan dan eksploitasi pada pekerja rumah tangga.
Dalam survey KPAI yang bekerja sama dengan IOM, Sekertariat Jarak dan para pegiat TPPO dan pegiat anak dalam survey pekerja anak, terungkap anak yang harus bekerja dalam menghadapi dampak panjang ikutan pandemi, yang masih terus terjadi. Terutama anak sebagai pembantu rumah tangga di perkotaan.
Untuk penyajian berapa data pekerja anak di rumah tangga, belum ada data yang valid, karena terjadi di ranah privat dan butuh keterbukaan dari orang yang memperkerjakan, melaporkan kepada RT RW, apalagi bicara perpindahan anak, yang harusnya terlaporkan kepada RT RW dan dinas setempat, karena terkait hak pengasuhan yang melekat ketika anak berada di penguasaan orang lain.
Kalau mengacu data ILO di 2003 menyatakan ada 700 ribu pekerja PRT, dengan umur 12 sampai 15 tahun.
Diberbagai kasus PPRT anak, ketika di asessment, nampak latar belakang pekerja anak ini ya, seperti anak anak yang rentan terlepas dari keluarga, kurang perhatian keluarga, lepas dari keluarga, kehilangan keluarga (baik sebelumnya, maupun ketika masa covid), berpindah pengasuhan, karena ortu bercerai, kemiskinan, ketika di janjikan masa depan lebih baik dengan bekerja (dijanjikan berpendidikan, kuliah, bisa membantu orang tua atau saudaranya) dengan berbagai sebab.
Sehingga terbujuk rayu untuk mau bekerja. Pekerja anak di abad modern digital ini, cenderung diperlakukan buruk ya, saya kira kasusnya sangat banyak di sampaikan media, seperti contoh terakhir media memberitakan PRT anak yang dijanjikan sekolah, kemudian dititipkan seorang aparat, tetapi malah jadi budak rudapaksa.
Begitu juga anak anak yang berada di ranah pendidikan, dengan terungkapnya anak anak bekerja di badan usaha tempat menampung anak seperti ponpes di jember dan spi di kota batu malang. TIdak tersentuh puluhan tahun dan terus pelaku berusaha menguasai. Ini tentu sangat mengerikan ya, kalau kita tidak memiliki RUU PPRT ini. Karena mereka didalam penguasaan pemiliknya, bahkan ada kasus yang diungkap media, mereka diminta membantu rumah tangga pemilik lembaga pendidikan itu, kemudian memiliki kamar khusus untuk ritual, yang sebenarnya dalih melakukan kejahatan seksual.
Baru saja juga media melaporkan ke Komnas Perempuan dan KPAI, tentang anak yang berpindah pengasuhan karena ortunya meninggal di masa pandemic, kemudian dipercayakan kepada temannya. Namun di medsos anak menyatakan sudah tidak kuat jadi budak rudapaksa dan diperkerjakan mengurus pelaku. Tentu sangat mengerikan bukan. Ketika tidak ada pendataan ketika ada orang baru hadir di keluarga, karena bisa jadi peristiwa anak dipekerjakan sebagai PRT ini sebenarnya ada lagi. Karena ketika ditanya datanya, kita belum bisa menjawab. Sehingga memastikan pendataan anak anak yang tinggal tidak dengan orang tua kandungnya menjadi penting, kalau tidak ranah privat kekerasan PPRT ini terus terjadi.
Mayoritas pekerja rumah tangga berasal dari kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Mereka bekerja dengan terjerat kemiskinan struktural dan pendidikan yang rendah, sehingga memaksa pekerja rumah tangga seringkali bekerja dengan relasi kuasa yang timpang dan posisi tawar yang sangat lemah.
Anak adalah prbadi yang secara emosi mudah di kendalikan, secara fisik mudah di kuasai, dan secara pemahaman mudah dibelokkan. Sehingga kita membayangkan ketika mereka bekerja, maka akan dijadikan subyek datangnya masalah dan kesalahan dalam bekerja. Ketidakpahaman itu digunakan selalu untuk menguasai pekerja anak
PRT anak bagi saya adalah pekerjaan sektor terburuk. Karena kita tahu, pekerjaan dirumah itu tidak ada habisnya selama 24 jam, mulai dari bangun sampai bangun lagi. Saya kira kita bsia mengukur dan tahu semua, karena memiliki anak dan pasangan, rumah, dan kewajibannya. Sehingga beban pekerja anak di PRT tidak akan pernah ada habisnya.
Pekerja anak dipahami orang tua dan orang yang memberikan pekerjaan adalah, dengan bahasa membantu, menolong dan di berdayakan, dari pada berbuat hal yang lain.
Namun alih alih menolong dan diberdayakan, sebenarnya situasi PRT anak, adalah lemah dan tidak bisa menuntut hak. Sehingga berujung menjadi kehidupan yang traumatis, miris, rumit dan berakhir pada situasi yang sangat buruk untuk anak.
Apalagi yang memperkerjakan anak menganggap anak dapat dikuasai terus, atau dianggap bisa menurut atau mengikutinya, sehingga kemudian menggunakan relasi kuasanya dengan menakuti anak, baik secara fisik dan psikis, kemudian dengan kekerasan, kejahatan seksual, atau akan dicemarkan nama baiknya bila keluar dari pekerjaan.
Untuk itu RUU PPRT ini sangat penting memperhatikan anak anak yang telah terjebak dalam pekerjaan terburuk ini. Namun disisi lain ketika negara menjamin anak hingga 18 tahun, membatasi usia perkawinan anak hingga 19 tahun, menetapkan persoalan nasional adalah meningkatnya angka pekerja anak. Maka pr di daerah, sejauh apa berbagai aturan yang menitipkan berbagai multi layanan ini bisa bekerja efektif mendukung penetapan regulasi tersebut.
Bagaimana ketika diketemukan pekerja anak, ada pengawasan langsung di tempat bekerja, ada manajemen kasus, mekanisme referall, hak mendapatkan pendampingan yang tersertifikasi dan terpercaya, dan layanan yang mengubah cara pandang anak menjadi optimis menjemput cita cita, benar benar bisa terselenggara.
Temuan utama yang dilakukan teman teman pegiat dalam pengawasan pekerja anak menemukan, bahwa pekerja anak masih menjadi masalah serius,
kehadiran pekerja anak masih sangat tinggi.
Masuknya anak-anak ke dunia kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berhubungan Vandenberg pada (2009) mendefinisikan menjadi 5 faktor kunci dimana tiga yang pertama adalah faktor penarik sedangkan dua lainnya merupakan faktor pendorong. Kombinasi dari faktor penarik dan pendoronglah yang memberikan kontribusi terhadap tetap adanya pekerja anak.
3 faktor pertama adalah:
Kemiskinan, Akses pendidikan, norma dan sikap sosial.
Sementara 2 faktor pendorong adalah:
Permintaan dari rumah tangga, dan permintaan pasar atau usaha-usaha lain.
Ini yang juga ingin terus dikampanyekan KPAI, sehingga semangatnya sama, kita lanjutkan perjuangan bersama mengawal RUU PPRT agar terus terkawal, mendapatkan perhatian dan tentunya berharap segera disyahkan, agar upaya negara dalam menjalankan secara sistemik perlindungan anak benar benar efektif dengan hadirnya RUU PPRT ini
Salam hormat,
Jasra Putra
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3414