Pelayanan kesehatan bagi Penyandang Disabilitas sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 139 bahwa upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat. Yang dalam pelaksanaannya mewajibkan pemerintah memastikan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
Begitupun pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pada pasal 12 bahwa hak kesehatan penyandang disabilitas meliputi point a sampai h, yang diantaranya adalah memperoleh informasi dan komunikasi yang akses, kesamaan dan kesempatan akses atas sumber daya di bidang kesehatan, kesamaan dan kesempatan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; kesamaan dan kesempatan secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan; memperoleh Alat Bantu Kesehatan berdasarkan kebutuhannya; memperoleh obat yang bermutu dengan efek samping yang rendah; memperoleh Pelindungan dari upaya percobaan medis; memperoleh Pelindungan dalam penelitian dan pengembangan kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek.
Selanjutnya Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan pada pasal 21 bahwa Kepesertaaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja, sehingga bila 6 bulan belum memiliki pekerjaan dan tidak mampu, maka iurannya akan ditanggung pemerintah, begitupun bagi peserta yang mengalami cacat total, tetap dan tidak mampu, iurannya juga di tanggung pemerintah. Yang selanjutnya aturan tersebutakan di atur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Bahkan kalau kita merujuk pada Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 42 menyatakan Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, miningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bila melihat berbagai aturan ini, maka skema jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas tersedia dan sangat tegas disampaikan. Tentunya penting Omnibus Law dalam RUU Kesehatan merujuk pada jaminan kesehatan yang telah ada, sehingga tidak ada pengabaian jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas.
Sebenarnya teman teman penyandang disabilitas mengapresiasi Jaminan Kesehatan Nasional. Hanya saja banyak hal yang perlu di koreksi ketika kebijakan tersebut di implementasikan. Namun ketika membaca berbagai peraturan ini, mereka mengeluhkan bagaimana para profesional terkait kesehatan, Kemenkes, rumah sakit, profesi tenaga kesehatan, manajemen rumah sakit membaca berbagai peraturan ini.
Salah satunya datang dari teman penyandang disabilitas laki laki yang duduk di kursi roda karena paraplegia yang rutin cuci darah di rumah sakit. Sebagai disabilitas yang menjadi bagian MBR atau Masyarakat Berpenghasilan Rendah, ketika rutin cuci darah dihadapi dengan tagihan obat yang tidak di jamin BPJS, sangat terasa, karena baginya biaya obat tersebut cukup mahal.
Namun pengalamannya mengakses Puskesmas dan Perawat ia sangat bersyukur, terbantu banget. Karena kondisi Puskesmas yang tidak akses akibat sering terserang banjir, jadi baginya yang berkursi roda akan tidak akses. Sehingga Puskesmas memahami, ketika minta rujukan cukup dengan telepon sudah jadi. Karena puskesmas tahu tidak bisa menangani kondisi saya, dan langsung merujuk ke Rumah Sakit.
Ia juga menyampaikan terkait Undang Undang Ketenagakerjaan, dimana ada jaminan kesehatan dengan masuk ke BPJS Ketenagakerjaan. Namun pernah terjadi keterlambatan pembayaran sehingga menyulitkan teman teman penyandang disabilitas. Hal ini menyebabkan kami tidak mendaftar BPJS Ketenagakerjaan, selain kebutuhan hidup kami tinggi, sehingga lebih memilih masuk PBI.
Ada lagi cerita dari seorang Ibu yang memiliki anak perempuan 6 tahun yang memiliki kebutuhan khusus karena autis. Ia menyampaikan anaknya sangat membutuhkan therapy. Ia merasakan sekali manfaat therapy untuk anaknya, seperti anaknya yang tidak bisa berjalan, akhirnya dengan therapy, di umurnya 2,5 tahun anaknya bisa berjalan. Anak yang tadinya biaa mengeces dengan di message (pijat) kemudian mengecesnya bisa berkurang bahkan hilang. Sehingga BPJS sangat membantu sekali.
Namun yang perlu mendapat perhatian adalah, saat mencari rujukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, ia merasakan kemudahan. Tetapi ketika anaknya mendaftarkan ke rumah sakit, selalu ditanya anaknya kenapa tidak dibawa. Padahal effort membawa anak autis ke rumah sakit sangat besar, karena saya pernah melihat seorang nenek yang mendampingi cucunya autis di rumah sakit, dan terjadi peristiwa cucunya masuk lift dan tidak bisa di tangani. Karena memang perlu 2 (dua) orang dalam pendampingan anak autis. Energi mereka tidak cukup hanya dihadapi 1 orang.
Saya berharap untuk anak autis, boleh lah kiranya, yang mendaftar itu kakaknya, ibunya, ayahnya terlebih dahulu. Setelah kepastikan dapat nomor antiran dokter, baru kemudian anak di bawa ke poli therapy. Karena untuk therapy prosesnya panjang, mulai datang paling pagi, dapat nomor antrian setelah pasien umum, mengantri diruang dokter, kemduian ketemu dokter anak dulu, kemudian ke petugas rekam medis, baru kemudian ke petugas fisio therapy. Dan itu mengantri, bisa 3 hari. Baru dapat. Itupun dari seharusnya therapy satu jam, mungkin efektifnya hanya 30 menit sampai 45 menit.
Kedua, permasalahan antrian dokter, karena yang didahulukan adalah pasien umum. Meski saya berangkat pagi jam 7, dapat nomor antrian jam 10, kemudian itupun masih antri lagi di ruang dokter. Pernah suatu ketika anak saya mengalami mimisan, ketika saya sampaikan ke perawat agar didahulukan, diminta tetap pada antrian, kemudian mimisannyua semakin deras, seketika itu semua pasien yang menunggu, meminta perawat mendahulukan anak saya.
Namun saat ini, sudah terhitung 2 tahun, anak saya hanya waiting list therapy, karena memang antrian sangat banyak. Padahal kami para ibu sangat tergantung di bantu saat anak anak therapy, karena tidak bisa kami handle sendiri. Untuk itu agar tetap mendapat antrian, kami terus memperpanjang surat rujukan, agar tetap masuk. Juga keluhan para orang tua yang sering ketemu diruang poli, kita datang jauh jauh, tapi jadi habis waktu, antri, dan waktu therapy yang sangat singkat, padahal perubahan dan perkembangan anak kami sangat tergantung therapy.
Disinilah kadang para therapis memberi jalan keluar, untuk mengakses lansung s mereka di luar rumah sakit, dengan mengakses therapis tumbuhkembang, yang biayanya per 1 jam 150 ribu sampai 250 ribu. Tapi tidak semua kami mampu. Karena kebutuhan anak autis sangat banyak dan mahal. Sehingga dengan adanya BPJS kami sangat terbantu, kita hanya berharap semoga layanannya dapat ditingkatkan lagi.
Kemudian ada perempuan polio berkursi roda yang tinggal di pelosok Desa Nangkod Kecamatan Kejobong Purbalingga menyampaikan ketika habis operasi di rumah sakit akibat tumor di punggung, ia dipulangkan lebih awal, padahal lukanya belum sembuh. Sehingga harus mencari biaya perawat selama sebulan untuk membersihkan luka.
Saya juga harus berobat jalan, untuk mengontrol pasca operasi, dengan bertemu dokter bedah, dokter syaraf, dokter penyakit dalam. Dan untuk sekali kedatangan hanya bisa menemui satu dokter. Ini juga hal yang tidak mudah, karena saya membutuhkan kendaraan, akibat letak rumah sakit di Banjarnegara yang jauh dari rumah. Sehingga tergantung mobil ambulance, dan saya juga membutuhkan pendamping, yang menyebabkan lama saya tidak kontrol.
Dalam Buku Panduan Pelayanan Kesehatan Inklusi dari Pelkesi menyampaikan Laporan National Rapid Assesment terhadap situasi dan data penyandang disabilitas dalam menghadapi pandemi Covid-19 Webkusi (2020) menemukan bahwa ketersediaan informasi terkait Covid-19 yang aksesibel masih sangat terbatas. Pada penyandang disabilitas netra, kemudahan akses informasi Covid 19 melalui teks yang terbaca screen reader hanya sebesar 38,86% dan ketersediaan akses informasi dari media visual bernarasi hanya 38,86%. Pada penyandang disabilitas sensorik tuli, ketersediaan akses informasi melalui juru bahasa isyarat hanya sebesar 31,41%. Hal ini menunjukkan bahwa pada situasi pandemi, kelompok penyandang disabilitas belum menjadi prioritas pemerintah.
Berkaca dari paparan data-data di atas, pemerintah tampaknya masih belum dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan layanan kesehatan yang inklusif bagi penyandang disabilitas yang merupakan hak asasi sekaligus hak hukum dari penyandang disabilitas. Pemerintah oleh karenanya perlu untuk sesegera mungkin mengimplementasikan pedoman layanan kesehatan inklusif WHO (2020) mulai dari fasilitas layanan kesehatan terendah hingga tertinggi dan melakukan asesmen rutin untuk mengetahui situasi inklusivitas layanan kesehatan penyandang disabilitas.
Peningkatan akses terhadap layanan kesehatan pada penyandang disabilitas tidak hanya berkontribusi pada derajat kesehatan penyandang disabilitas, melainkan juga pada produktivitas kegiatan ekonomi penyandang disabilitas. Selain itu, peningkatan layanan kesehatan yang inklusif pada akhirnya juga tidak hanya akan menjangkau akses bagi kelompok penyandang disabilitas, tetapi juga menjangkau seluruh populasi masyarakat.
Dalam pemenuhan hak setiap orang sebagaimana yang tertuang dalam tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs 2030 diharapkan tidak ada seorang pun yang terabaikan. Seharusnya tidak ada perbedaan antara pemilik layanan kesehatan, pemberi layanan kesehatan, dan penerima layanan kesehatan. Semuanya mendapat perlakuan yang adil dan tidak membeda-bedakan, termasuk para penyandang disabilitas.
Umumnya layanan yang disediakan untuk penyandang disabilitas meliputi aksesibilitas fasilitas kesehatan, penyediaan akses pendampingan sesuai kebutuhan, layanan informasi yang dapat diakses sesuai ragam disabilitas, penyediaan sarana parkir, gedung, ruang tunggu pasien, pelayanan oleh tenaga medis, pemeriksaan penunjang, tindakan medis, pelayanan farmasi, pembayaran di kasir, hingga layanan langsung seperti kunjungan ke rumah pasien. Dalam mendukung layanan tersebut, rumah sakit dapat memanfaatkan fasilitas teknologi, informasi dan ruang digital yang aksessibel, Yang sebenarnya saat ini sudah banyak aplikator yang menyediakan sarana digital, sehingga dapat langsung dimanfaatkan dalam mendukung layanan.
Kesehatan adalah pelayanan dasar yang harus dipenuhi oleh negara menyangkut dengan kebutuhan dan hak utama sebagai warga negara. Pelaksanaan pelayanan dasar tercantum dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diselenggarakan dengan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Artinya, setiap warga negara, tak terkecuali penyandang disabilitas, memiliki hak yang sama untuk mendapat pelayanan kesehatan yang sama dan baik.
Akses pelayanan perlu disertai dengan jaminan mutu dan standar pelayanan itu sendiri. Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 point 17 di jelaskan yang di maksud Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu Pelayanan Dasar yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal.
Ini memandatkan pemerintah daerah untuk memprioritaskan pelaksanaan pelayanan dasar dengan berpedoman pada Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 tahun 2018. PP ini kemudian menjadi rujukan jaminan mutu pelayanan publik.
Pertanyaannya, bagaimana PP ini mengatur mutu pelayanan dasar, khususnya kesehatan, terhadap penyandang disabilitas? Pelayanan terhadap penyandang disabilitas mempunyai kekhususan yang pemenuhannya juga menjadi tanggung jawab negara, mengingat layanan kesehatan untuk penyandang disabilitas masih jauh dari kata baik, meski saat ini telah lebih dijamin dalam regulasi.
Umumnya pelaksanaan pelayanan dasar dengan berpedoman pada SPM tidak banyak ditemui dalam layanan kesehatan di rumah sakit. Fasilitas ini hanya dirasakan oleh non-disabilitas. Masih banyak ditemui kasus tidak adanya petunjuk teknis SPM untuk penerima manfaat penyandang disabilitas.
Misalnya saja dalam proses layanan ragam disabilitas pada jenis tuli atau tunarungu. Running teks dan panduan tertulis masih terbatas pada informasi umum (toilet, ruang perawatan, kasir, nama-nama ruang). Proses pemanggilan pasien dengan suara juga tidak diiringi running teks di ruang tunggu. Jika tidak melakukan interaksi, kehadiran pasien dalam kondisi tunarungu atau tuli tidak diketahui. Jika pun diketahui tidak bisa berkomunikasi dengan lancar. Dan seringkali tenaga kesehatan tidak bisa berkomunikasi dengan penyandang disabilitas tuli atau tunarungu. Akibatnya, disabilitas tuli atau tunarungu sering mengeluarkan biaya ekstra untuk menyiapkan juru bahasa isyarat (JBI) dalam berkomunikasi. Jika fasilitas non fisik ini tidak ada, maka akan membuat layanan terhambat dan membuat pasien merasa tidak terakomodir dengan baik.
Masalah lain misalnya adalah masalah fisik, yaitu kesulitan mengakses sarana transportasi untuk menuju ke fasilitas kesehatan, kesulitan menempuh jalan yang kualitasnya cenderung membahayakan dan buruk, kesulitan menjangkau lokasi fasilitas kesehatan karena letaknya yang sulit dijangkau misal meja yang tinggi, tombol yang melebihi jangkauan, dan alat yang tidak ramah. Hal lain yang tak kalah penting adalah tidak tersedianya bidang miring, handrail/pegangan rambat, kursi roda, komputer pembaca nomor urut, huruf braille, maupun running text atau voice, toilet penyandang disabilitas, dan loket/jalur khusus penyandang disabilitas.
SPM untuk penerima manfaat penyandang disabilitas adalah SPM yang memuat petunjuk teknis pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi penerima manfaat penyandang disabilitas, selain akses komunikasi dan bahasa juga seperti akses fisik dan nonfisik yang perlu dipenuhi untuk menjamin hak penyandang disabilitas dalam mengakses pelayanan kesehatan.
Jika tidak segera disempurnakan pemenuhan SPM, kita gagal memenuhi amanat Undang Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disbilitas yang pada pasal 61 menyatakan pelayanan kesehatan seharusnya mengikuti standar pelayanan yang disesuaikan dengan standar dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, rumah sakit juga kesulitan mengimplementasikan layanan yang memenuhi SPM karena tidak adanya pedoman rujukan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan sehingga dapat menghambat partisipasi dan peran serta mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang telah ikut ditandatangani oleh Indonesia mengamanahkan negara untuk mengambil kebijakan yang diperlukan untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas terhadap pelayanan kesehatan yang sensitif gender, termasuk rehabilitasi kesehatan.
Pada dasarnya masalah-masalah tersebut, memberikan kita gambaran konkret betapa persoalan mewujudkan layanan kesehatan masih membutuhkan perjuangan yang panjang. Ini membutuhkan kerja sama semua pihak, dan membutuhkan kampanye berkelanjutan untuk menstimulasi kesadaran masyarakat. Terutama dalam hal ini mewujudkan RUU Kesehatan yang inklusi.
Upaya pelayanan kesehatan penyandang disabilitas harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat, bermartabat, dan produktif secara sosial dan ekonomi. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang disabilitas untuk tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomi.
Di samping juga memberikan akses guna membantu proses pelayanan yang memudahkan penyandang disabilitas dalam kondisi tertentu. Untuk itu mari kita cek kembali, apa yang dimaksud layanan kesehatan dalam RUU Kesehatan yang sedang dibahas. Jangan sampai semangat di beberapa regulasi yang telah memberi jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas kemudian surut. Bahwa saat ini paradigma penyandang disabilitas sudah merupakan urusan hak asasi, bagian dari hak sipil yang harus dipenuhi, mereka mempunyai jaminan, perlindungan, dan pemenuhan hak mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Salam Hormat,
*Jasra Putra*
Wakil Ketua
CP. 0821 1219 3515