Peristiwa seorang bayi yang tidak bisa keluar dari RS Mutiara Bunda Brebes karena tunggakan BPJS, seharusnya tidak terjadi.
Indonesia memiliki program Jaminan Persalinan yang merupakan program nasional, dimana ada jaminan pemerintah dalam persalinan bayi. Dalam Intruksi Presiden nomor 5 tahun 2022 tentang peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi ibuhamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir melalui program Jaminan Persalinan. Bahwa bagi orang yang tidak mampu serta tidak memiliki jaminan kesehatan Presiden telah meminta Menteri PMK, Menkes, Mendagri, Mensos, para Gubernur, para Walikota, para Bupati dan Direksi BPJS bahwa bagi mereka yang tidak mampu membayar dapat di jamin dalam program Jampersal.
Saya kira kasus ini bisa akan terjadi terus, ketika tidak difahami secara baik Intruksi Presiden tersebut. Untuk itu penting agar tidak terjadi lagi, KPAI menekankan fungsi koordinasi dan sinkornisasi data dengan BPJS Kesehatan. Kepala Daerah dapat melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan dinas yang diamanahkan dalam regulasi tersebut. Karena penting mensinkronkan data yang ada di BPJS Kesehatan.
Sinkronisasi ini penting, agar mencegah keterpisahan ibu dan bayi, mencegah kematian ibu dan bayi di masa neonatal, yang masih menjadi titik berat persoalan yang di laporkan IDAI dan IDI. Sehingga intruksi Presiden dalam Jampersal sudah sangat tepat.
Kalau memang diketahui belum terdaftar sebagai peserta Jampersal, umumnya bisa segera didaftarkan, dan hari itu juga bisa masuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional, apalagi dinyatakan keluarga tidak mampu membayar.
Masalah ada tagihan dan lain lain, menjadi tangung jawab pemerintah melalui APBD, utk membayarkan tagihan tersebut. Sedangkan BPJS memastikan mereka masuk program Jampersal dan Pemda menanggung biayanya.
Itulah kenapa KPAI dalam advokasi RUU Kesehatan, mendorong mandatory spending, 20% untuk pembiayaan kesehatan anak. Agar tersedia dana yang cukup, terutama untuk melindungi kesehatan bayi dan anak anak sejak usia 0 sampai 18 tahun.
KPAI saat dilaporkan, langsung berkoordinasi dengan Kedeputian BPJS Kesehatan Wilayah Jawa Tengah
Surmiati.
Kami juga berkomunikasi dengan Kepala Desa Kubangjero, dan dinyatakan bayi dan keluarga sudah bisa pulang. Untuk persyaratan Administrasi maupun lainnya sedang diproses, kebetulan ada donator yang lansung mendampingi.
Pembayaran tunggakan dan denda BPJS sudah dibayarkan lunas. Sumber dana Rp. 4.600.00 dari Desa , sisanya dari dermawan.
Dari awal proses, desa selalu proaktif membantu, memantau dan mengantar keluarga dengan mobil SIAGA DESA, begitupun mengaaktivasi BPJS karena ada tunggakan.
Saat ini ibu dan bayi sudah di rumah. KPAI mengapresiasi kepedulian banyak pihak, terutama media yang menyampaikan situasi mereka. Sehingga ada edukasi dan kepedulian di masyarakat.
Saya kira dalam memotret permasalahan ini, ada 3 hal yang penting menjadi perhatian ke depan. Pertama sesuai dengan Inpres di atas bahwa kasus kasus seperti ini menjadi tanggungjawab bersama. Kedua, pemerintah daerah diminta untuk menanggulangi pembiayaan jangka pendek dan jika keluarga tersebut belum terdata dalam BPJS Kesehatan dapat segra berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Ketiga pentingnya mandarory spending dalam RUU Kesehatan, dimana KPAI mengusulkan 20% untuk anggaran kesehatan dalam memastikan hak kesehatan dasar anak bisa dipenuhi secara optimal.
Sehingga ke depan penting berbagai pihak yang dimandatkan dalam Instruksi Presiden melakukan sinkronisasi dan verifikasi data. Kementerian Sosial dapat bersama Menko PMK dalam menyampaikan persoalan ini ke DJSN dan BPJS Kesehatan untuk bersama sama membuat program terpadu sinkronisasi dan verifikasi data PBI kita. Sebenarnya system dan aturan sudah ada, namun kurang terpadu saja, sehingga terkesan rumah sakit melakukan penahanan, harusnya tidak terjadi.
Salam Hormat,
*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515