Bagikan Juga


Data Kemenag RI 2022 – 2023 mencatat ada 39.043 pesantren di Indonesia. KPAI juga melakukan pengawasan di beberapa kasus pesantren, mulai dari perkosaan, pencabulan, kekerasan dan anak meninggal.

Tentu saja peristiwa di Lebak adalah ketersambungan kisah-kisah kekerasan anak yang belum terputus dari pesantren. Bahkan terakhir pengungkapan rumah sakit dan orang tua atas hasil visum anak meninggal di pesantren yang lebam anus dan alat vitalnya, semakin membuat kekhawatiran luar biasa kepada kita semua, langkah apa yang harus kita lakukan agar anak anak tetap mendapatkan pendidikan yang layak dan baik di pesantren.

Kementerian Agama sendiri sebenarnya sudah menyatakan pada setiap peristiwa kekerasan seksual di pesantren untuk mendukung penegakan hukum pada setiap tindak pidana, siapapun pelakunya, serta kapan dan di manapun kejadiannya.

Namun dari kisah kisah kekerasan di pesantren, seringkali keluhannya, telat terungkap ke orang tua, karena sudah sekian lama, peristiwanya sekian tahun, peristiwa berulang, bahkan kalau meninggal dikeluhkan jasadnya diketahui orang tua setelah 24 jam.

Dari pengalaman para petugas, seperti penyidik, pekerja social, aktifis anak, pendamping anak, seringkali mengeluhkan kasus kasus di pesantren, seringkali berhadapan dengan figur yang disegani dan menyebabkan menjadi beban panjang memproses kasusnya, bisa karena tekanan pendukung, sulitnya masuk investigasi sehingga butuh energi ekstra.

Inilah yang saya kira, penting pesantren pesantren yang memiliki SOP penanganan kekerasan, berbagi dengan pesantren lainnya, atau menguatkan, mendorong komitmen pesantren lainnya. Dari kasus yang di Lebak saja, kita melihat, ketika ada keluhan santri tentang alat vitalnya. Permasalahan ini masih dilihat, seperti permasalahan sakit, seolah biasa, kemudian di layani klinik sakit di pesantren yang sebenarnya pesantren butuh bantuan dalam membaut layanan yang sensitif dan integratif tentang anak-anak membutuhkan perlindungan khusus.

Sehingga ketika mendapati fenomena anak murung di pondok, menyendiri, menjadi pendiam, menjadi sinyal perlunya sensitifitas layanan pesantren. Apalagi kalau sampai sakit, seperti kasus di lamongan yang santrinya diduga dari hasil visumnya mendapatkan kekerasan seksual, yang diungkap orang tuanya dengan alat vital lebam dan anus lebam. Sehingga dari sini pesantren butuh SOP layanan AMPK Integratif agar petugas dipandu untuk sensitif.

Maka dengan melihat pelayanan yang belum integrative ini dan parallel dengan modus di Lebak, pimpinan pesantren memperkosa santri santrinya dengan alasan pengobatan. Maka terbayang kisah di atas tadi, anak yang pendiam

yang menyendiri, tidak punya aktifitas social, mengalami sakit panas, langsung dibawa ke ruang pengobatan, yang kita tahu, alih alih menjadi penyembuh, justru pimpinan pondok melakukan pencabulan dan perkosaan santri santrinya.

Saya kira semua harus menyadari, kita cinta pondok pesantren, tetapi ketika ada peristiwa, kita tidak mau pesantren tercederai dengan para pelaku. Karena cita cita pendiri pesantren harus terawat, terjaga nilai nilai mulianya.

Selanjutnya pesantren juga harus menyadari mereka tidak bisa sendirian menghadapi ini, apalagi ini yang berkasus dalam tahun 2023 sejak awal tahun, selalu saja yang terungkap pelakunya pimpinan pucuk pesantren, bagaimana kita mengawasinya. Karena Negara kita sedang berupaya menghapus dan menyatakan perang dengan kasus kekerasan seksual, judi, game berbau judi online, narkoba, paparan asap tembakau yang di masa depan menyebabkan penyakit berat, kekerasan anak, kekerasan di media social, penyalahgunaan anak di eksistensi media social.

Karena mereka bisa masuk ke ruang pribadi pemimpin pesantren, para santri, para pengasuh. Jadi untuk soal ini tidak ada yang aman. Yang bisa adalah kita menguatkan diri bersama sama untuk melawannya. Sehingga pengungkapan kekerasan seksual di pesantren tidak selalu terlambat diterima orang tua, public. Bahkan yang lebih menyaktikan, mereka baru bisa mengungkap setelah menjadi alumni.

Karena dalam pengawasan, monitoring dan evaluasi KPAI kepada ABH, berasal dari anak anak yang tidak tertangani cepat, akan menghadapi perilaku yang beresiko, dan kemudian rentan mendapatkan perlakuan salah, dimanfaatkan untuk kegiatan kejahatan. Yang berujung semakin buruk.

Kemudian soal penegakan hukum jadi menbutuhkan energi yang luar biasa. Karena saat anak mendaftar ada form serah terima yang secara umum membuat orang tua sulit melakukan tuntutan. Sehingga banyak persoalan ketika mengungkapnya. Lalu kalau seperti ini, pertanyaan kritis kita. Maka apakah banyak kasus tidak bisa terungkap akibat form serah terima anak.

Untuk itulah ini menjadi catatan kritis kota semua, dalam mengembalikan hak pengasuhan anak. Orang tua juga harus berperan, setiap hari ada waktu komunikasi dengan anak, sehingga bisa da lingkungan saling dukung (support system) dalam pendidikan pesantren.


Jadi kalau saya katakan ini bom waktu, adalah kita seperti berkejaran dengan terus munculnya pelaku dan penanganan yang belum sepenuhnya integrative pada setiap korbannya, yang berujung menjadi permasalahan baru, yang lebih membuat beban Negara berlapis, kalau sejak awal tidak konsen pada penanganan jangka panjangnya. Sejauh apa pondok pesantren mau berbenah diri, untuk itu penting kehadiran pesantren lain, negara yang sudah memiliki pengalaman baik dalam mencegah kekerasan seksual di pesantren.


Salam Hormat,

*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515


Bagikan Juga