Perundungan atau kekerasan di lembaga pendidikan, bisa dilakukan siapa saja, hal ini terjadi ketika 3 pusat pendidikan tidak berkomunikasi baik. Yaitu sekolah, anak dan keluarga. Kegagalan komunikasi ini di picu karena komunikasi yang tak akrab, tak mesra antara orang tua, guru dan bisnis pendidikan itu sendiri.
Akibat hal ini, anak anak yang masih butuh pendampingan dan perhatian khusus, lepas dari pendampingan, dan terjebak dalam perlakukan salah, perilaku beresiko dan berujung menjadi korban berlapis. Yang mengancam dirinya dan berdampak kepada orang di sekitarnya. Bahkan harus meregang nyawa.
Sendirian berteriak minta tolong di kandang harimau. Membayangkan situasi korban meninggal yang berada di bawah penguasaan santri senior. Menurut Gus Menteri Agama angka kekerasan di pesantren bak fenomena puncak gunung es, semua yang diberitakan adalah puncak masalahnya, setelah sekian lama masalah awalnya tidak mendapatkan perhatian. Menurut Prof Azyumardi Azra ada 30 ribu pesantren. Dan pesantren memiliki pemimpin kharismatik. Sehingga menyebabkan pengawasan tidak mudah.
Hari ini kita dipertontonkan pesakitan dari para korban kekerasan. APH seringkali kesulitan mengungkap kejahatan di ranah privat, yang didalamnya memiliki penguasaan penuh segala lini, sehingga mudah menetapkan status korban secara subyektif.
Bayangkan sejak korban menolak perlakuan, percaya tidak percaya. Mereka harus berani melawan, mengalami ketakutan, ancaman, trauma, yang harus dialaminya sekian lama.
Kemudian kalau melihat kekerasan, yang diungkap santri saat menjadi alumni, dengan bersaksi berulang ulang, hanya untuk mendapatkan pengakuan, sampai mengorbankan dirinya speak up ke publik. Menjadi perjuangan korban yang sangat panjang, menguras energy dan batin.
Mereka berasal dari anak anak yang membutuhkan perlindungan khusus akibat latar belakang terlepas dari orang tua. Dan harus percaya dengan figur barunya, dan bertahan demi masa depan yang di mimpikan para santri.
Sekarang 4 pelakunya baru tertangkap, mungkin luka sayatan perih batin itu sedikit terobati, namun para korban dan keluarga masih mencari keadilan atas pesakitan yang mereka alami saat ini, yang bisa tiba tiba menggelayut menghampiri lagi. Mampukah rasa keadilan dihadirkan?
Ada pelaku yang memiliki relasi kuasa yang luar biasa, mereka adalah yang diberi mandat wewenang, Dimana segala akses bisa ditembus untuk menutupi kejahatannya, dan menempatkan korban menjadi pesakitan di mata publik. Karena perlu upaya luar biasa untuk menyentuh para pelaku. Dan korban yang harus bersaksi berulang ulang, bahkan bertahun tahun. Padahal mengungkap itu membawa trauma dan dapat mengancam.
Sebenarnya fenomena kekerasan, merupakan fenomena data yang masuk ke KPAI, dimana kekerasan didalam keluarga dan pengasuhan alternatif (anak anak yang berada di pengasuhan pengganti) menjadi angka tertinggi. Dengan angka 2.281. Di Jawa Timur Januari sampai Mei ada kekerasan terhadap anak 319 kasus.
Kita sering lupa bahwa pendidikan berbasis asrama seperti pesantren dan lain yang serupa, sebenarnya menjalankan fungsi pengasuhan alternatif. Makanya di Konvensi Hak Anak kluster IV kita bicara secara bersamaan antara pendidikan, waktu luang dan budaya. Memang ada problem besar, ketika anak lepas dari pengawasan orang terdekatnya. Seperti masalah waktu luang di pesantren setelah melalui pendidikan formal.
Tentu peristiwa santri 14 tahun yang berasal dari Banyuwangi, yang tewas di Pondok Pesantren Al Ishlahiyyah Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri menambah daftar panjang kekerasan yang di selesaikan di ranah privat pesantren.
Rasanya keprihatinan kita baru saja tertuju atas peristiwa meninggalnya santri di Pondok Pesantren Gontor Ponorogo yakni santri atas nama AM 17 tahun, kemudian bullying ekstrim yang terjadi di sekolah Internasional Tanggerang Selatan.
KPAI mencatat peristiwa di pesantren sepanjang Februari 2024 bukan satu satunya di Kediri, kekerasan para senior kepada yunior santri ini juga yang baru saja terjadi di Ponpes Tanfizul Quran Al-Imam Ashin Jalan Inspeksi Kanal Tamangapa Utara, Kecamatan Manggala Kota Makassar dengan korban meninggal AR 14 tahun.
Begitupun di Ponpes Babul Khairat Desa Ngamarto Kecamatan Lawang Malang Jawa Timur, seorang yunior juga dianiaya seniornya, bahkan sampai di setrika dadanya, untungnya masih bisa diselamatkan.
Laksana pemadam kebakaran, dari satu kasus ke kasus yang lain. Upaya pencegahan lolos terus, sejak tren kekerasan anak terus meningkat pasca pandemi.
Namun peristiwa Pesantern Kediri, seperti menghantui kita semua, apakah anak anak kita bisa selamat di lembaga pesantern. Apalagi Kementerian Agama mengungkap TKP peristiwa adalah pesantren yang berumur sekian tahun dan tidak terdaftar. Kita semua seperti dihantui, apakah anak anak kita bisa selamat di lembaga pendidikan pesanteren tidak terdaftar? ada berapa banyak? Apakah termasuk pesantren anak anak kita sekarang?
Seolah sudah menjadi suratan anak anak yang mendapatkan kekerasan, bahkan meninggal di ranah privat lembaga bukan lagi urusan orang tua, karena sudah diserahkan ke lembaga. Seolah olah ketika anak diserahkan, tidak ada lagi campur tangan orang tua.
Seolah olah anak terputus nasabnya dari orang tua kandung. Saya kira kita harus mengingat kembali tentang ratifikasi Konvensi Hak Anak yang memasukkan ajaran islam Kafalah sebagai pengakuan pola pengasuhan alternatif dengan tidak memutus nasab. Oleh karena itu penting pesantren menganut ajaran Rasulullah ini.
Ketika pandangan, anak seolah olah menjadi milik lembaga, maka segala hal yang terjadi dengan anak, susah kemudian diakses orang tua. Seperti peristiwa Kediri, tergambarkan, situasi anak yang sulit mengakses orang tuanya sendiri, padahal situasinya sangat darurat. Tidak ada mekanisme, ketika pesantren tidak mampu, lalu pesantren bisa merujuk kemana, agar segera ditangani. Ini yang terlihat belum biasa di lakukan.
Maka tanpa sadar lembaga terjebak dalam menyegeramkan semua kondisi anak dalam peraturan dan keamanan sekolah. Sehingga mengikis kebijakan, SOP, aturan yang dibuat nya sendiri, dalam memperhatikan keselamatan anak anak yang membutuhkan perhatian khusus, karena anak anak yang terlepas dari orang tua, dalam peraturan negara kita dimasukkan dalam anak anak yang membutuhkan perhatian khusus dalam perlindungan dalam PP Perlindungan Khusus Anak. Karena kondisi kerentanan yang sewaktu waktu dapat terjadi.
Kemudian kita juga masih melihat rasio, antara yang mengawasi santri dengan jumlah santri sendiri, gap nya sangat jauh. Sehingga untuk memperhatikan setiap santri ketika lepas jam pendidikan, masih sangat sulit. Kita melihat, ketika santri lepas dari bisnis pendidikan, maka santri mukim, akan lebih nampak di dekatkan dengan aturan dan hukuman. Kami menyaksikan anak anak yang tidak mampu mematuhi aturan, akan menghadapi mudabbir (hukuman hukuman), yang sering kali diserahkan senior. Karena sulitnya mencari ustadz yang bisa bertangung jawab di luar bisnis pendidikan.
Padahal Negara kita memiliki akreditasi, soal anak anak yang terlepas dari keluarga, dengan akreditasi pengasuhan, yang harus di taati siapapun yang menampung anak. Sebagaimana dalam Undang Undang Perlindungan Anak tersirat siapapun yang berani membuka layanan anak bahwa mereka siap menggantikan peran orang tuanya, sama memberikan kasih sayangnya. Namun siapa yang bisa memastikan? Begitupun Kementerian Sosial dalam Peraturan Menteri Sosial menyatakan setiap lembaga yang menampung anak, diminta melaksanakan akreditasi pengasuhan, layak atau tidak, kalau tidak lalu apa yang bisa di intervensi Negara. Saya kira aturan ini harus benar benar menjadi perhatian.
Sangat penting studi reflektif anti kekerasan masuk kurikulum sekolah berasrama, karena mereka 24 jam berada disana. Seperti yang dilakukan pendiri Pesantren Welas Asih Bandung Irfan Amali adalah contoh baik pesantren dalam para santri aktif menghentikan kekerasan.
Kita mengetahui tak terhindarkan, hidup 24 jam bersama, tentu setiap hari ada persoalan kehidupan, sehingga memunculkan kekerasan. Namun seringkali budaya kekerasan itu juga di motivasi dengan perilaku, seperti ujaran kebencian, hukuman yang terasa berlebihan, yang menjadi kebiasaan tanpa sadar, menjadi ketimpangan relasi.
Misal saja ajaran karena tidak sholat, ia kafir pantas diperangi, ini seringkali jadi awal kekerasan dan berkembangnya theology maut. Sehingga penting para santri di ajak merefleksikan kekerasan di sekitar mereka.
Untuk itu KPAI menyarankan, pesantren bekerjasama dengan lembaga lembaga rujukan terpercaya, yang memilliki kebijakan bekerja dengan anak dan kode etik bekerja dengan anak, memiliki penerapan Child safe guarding, seperti yang dilaksanakan UNICEF melalui pesantren ramah anak.
Agar penyelenggaraan pendidikan tetap berjalan, sedangkan permasalahan di luar bisnisnya pendidikan, ada lembaga professional yang membantu. Bahkan negara menyiapkan layanan prodeo baik secara hukum, paralegal, maupun pendampingan khusus yang dibutuhkan.
Sehingga sekolah berasrama tidak ragu, karena protap pekerjaan mereka telah diatur Undang Undang dan aturan terkait. Seperti Dinas Perempuan dan Perlindungan Anak, Relawan SAPA 129 yang memiliki Task Force lintas profesi dan tempat koordinasi lintas dinas dan lembaga.
Salah satu persoalan mendasar juga, yang harus menjadi perhatian pemerintah daerah sebagai pelaksana regulator di daerah, tentang pentingnya mandat pengawasan, tidak hanya keberlangsungan pendidikan, tapi juga ada mandat pengawasan soal pengasuhan alternatif, yang tidak bisa dilepaskan dari peesantren yang menyelenggarakan 24 jam kegiatan untuk anak.
Ketika orang tua lepas, ketika orang tua melepaskan, ketika orang tua jauh, dan tidak ada pencatatan, maka sistem kita tidak bisa melakukan deteksi dan pengawasan, karena tidak ada pelaporan perpindahan anak. Karena ada tugas soal pembagian kewenangan pusat dan daerah soal perpindahan anak ini. Jika tidak tercatat, maka sistem ini tidak bisa berjalan baik. Tentu saja banyak pengawasan yang dilakukan negara, tapi karena tidak tercatat, menjadi lubang tidak berjalannya mandat pengawasan dan perlindungan anak rentan, tidak ada akses sistem sumber yang lain, yang harusnya bisa melengkapi penyelenggaraan pendidikan berasrama.
Karena hasil asessment pada korban kekerasan anak, seringnya dijumpai masalah awal, akibat perpindahan anak karena berbagai sebab, yang kemudian jarang orang tua melihat anak. Sehingga penanggung jawab utamanya berpindah.
Padahal di setiap perpindahan anak di negara ini, ada mandat UU Perlindungan Anak, PP Pengasuhan Anak dan PP Perlindungan Khusus Anak yang memperhatikan kondisi kerentanan ketika anak terlepas dari keluarga dan mewajibkan adanya pengawasan terkait. Karena jika tidak terlaporkan, perpindahan anak antar kab/kota, antar propinsi apalagi antar negara, maka pengawasan tidak terjadi.
Seringkali perpindahan anak, ketika anak terlepas dari keluarga karena berbagai sebab, siapa yang mencatat?, karena pentingnya pengawasan dan intervensi kebutuhan khusus, karena atas dasar kajian dan naskah akedemik aturan itu, anak bisa sewaktu waktu berada dalam kondisi rentan, dan butuh dukungan yang lain.
Belajar dari peristiwa ini, hal ini meniscayakan beberapa regulasi yang menempatkan anak bukan subyek hukum, tetapi mereka dilapisi hak dan kewajiban, karena anak tidak bisa dibiarkan sendiri menyelamatkan dirinya, akibat fisiknya mudah dikuasai, kognitif atau pemahamannya mudah di belokkan, dan kondisi emosionalnya yang mudah di cuci alam bawah sadar. Sehingga seringkali mendapatkan perlakuan salah tanpa menyadarinya.
Semangat pesantern dalam membantu pemerintah tentu sangat baik, tapi konsekuensi menjaga niat baik adalah dengan adanya pengawasan, dalam peningkatan kualitas dan mengimbangi tugas. Yaitu pendidikan dan pengasuhan santrinya. Sebenarnya pesantren punya pengalaman baik dengan standrad penyelenggaraan pendidikan, Kementerian Agama punya penetapan akreditasi bertingkat.
Tapi kenapa di bidang keamanan ketika anak terlepas dari urusan pendidikan, atau yang KPAI sebut dengan pengasuhan anak ini, tidak menjalankan akreditasi. Seperti lembaga alternatif yang dititipkan anak, seperti panti, pemerintah menyelenggarakan akreditasi, yang bila lembaga itu memenuhi, pemerintah merekomendasi akses sistem sumber atau dukungan yang diperlukan., menuju pengasuhan yang lebih baik. Ini yang saya kira terputus, dari melengkapi pesantren.
Dalam PP Pengasuhan Anak, soal perpindahan anak, bicara tentang jaminan kesejahteraan, kelekatan, kenyamanan, profil orang tua pengganti, jaminan hidup, serta pendampingan pekerja sosial dalam mendukung anak selama berada di pengasuhan alternatif, sehingga pengampu anak ditetapkan menjadi keluarga pengganti anak.
Bahwa tidak mungkin menjalankan satu hak pendidikan saja tanpa memperhatikan hak santri lainnya, karena ini kebutuhan holistik anak yang tidak bisa ditunda. Sehingga tanggung jawab pesantren dapat berbagi peran. Semoga jadi kesadaran bersama dan saling melengkapi ke depannya.
Saya kira dengan terjadinya peristiwa ini, penyelesaian kekerasan di ranah privat, menyatakan pesantren perlu jembatan, soal bagaimana melapor kekerasan, dengan lembaga lembaga yang terpercaya, yang bekerja dengan kdoe etik dan diberi mandat jelas, agar proses kasus tidak mengganggu proses pendidikan. Namun tetap tujuan mencabut akar kekerasan itu terjadi, dengan tidak mentolerir siapapun .
Sehingga ketika gedung sekolah semakin bagus karena akreditasi, juga harus dibarengi dengan akreditasi keamanan yang notabene adalah pengasuh anak anak di pesantren. Ini jadi fenomena timpang, yang menjadi pekerjaan rumah bersama, untuk meningkatkan akreditasi pengasuhan di pesantren.
Kita sering melihat soal ini, timpang ya di sekolah berasrama, panti, pesantren. Seperti untuk manajemen dan core business pendidikan sangat kuat perhatian kesejahteraannya, karena dianggap fundamental. Tetapi pengasuhan yang pekerjaannya 24 jam, adalah usaha yang seperti seolah-olah diluar core bisnis utama. Sehingga banyak yang menjauhi profesi ini, yang berbuntut kurang pengawasan.
Ketidak perhatian kepada kesejahteraan ini, menyebabkan seolah olah tidak ada persoalan, selain masalah pendidikan. Padahal anak anak dalam pengasuhan membutuhkan figur permanen, memiliki bahasa kasih dan sayang, figur yang mendekat, kelekatan, dan menjamin kesejahteraan mereka.
Jika ini kosong, tidak ada yang memerankan, apalagi kemudian diserahkan kepada anak, maka jangan salahkan anak, karena sebenarnya antara pelaku dan korban memiliki kebutuhan yang sama.
Karena pengasuhan yang kurang, menyebabkan lebih digunakan pendekatan keamanan, karena dianggap bisa mengatur, dan lebih banyak menampilkan wajah kurang ramah, karena sekali lagi, ini soal jaminan kesejahteraan dengan tanggung jawab yang teramat besar
Diluar penyelenggaraan pendidikan, kita lebih mendekati anak dengan protap keamanan. Padahal di luar aktifitas pendidikan, layaknya mereka berada di rumah, para santri butuh figur pengganti, seperti korban yang begitu dekat dengan Ibunya, sehingga meWA minta pertolongan, tetapi kenapa hal yang sama, tidak bisa ia lakukan di pesantren, artinya anak korban meninggal ini, tidak menemukan figur yang tepat menjadi pengganti orang tua, sehingga harus mengakses sangat jauh, jauh dari gapaian, sehingga meninggal.
Kita lebih sering melihat, karena anak di dekati dengan protap keamanan, dengan tampilan keamanan, maka lebih nampak pendekatan stigma menyeramkan bagi anak.
Persoalan kekerasan di pesantren, juga persoalan kesejahteraan tenaga keamanan , yaitu para senior sendiri, yang lebih banyak di bebankan di banding yang harus diperhatikan.
Akhirnya karena beban luar biasa yang harus dijalani, dengan rasio anak lebih banyak dibanding kemampuan mengamankan. Maka keamanan lebih tampil dengan wajah yang tidak ramah, teriakan, agar bisa ada efek kejut, ditakuti, dengan tujuan semua anak mematuhinya.
Padahal ini soal jeritan para petugas keamanan di pesantren, yang notabene sehari hari diserahkan pengamanan anak 24 jam.
Kita bisa melihat profil profil keamanan yang memiliki keluarga di sekolah berasrama, harus hidup 24 jam yang ujungnya sebenarnya sangat tidak layak, karena mengorbankan anak dan keluarganya sendiri, sehingga ini menjadi profesi yang jarang dipilih dan akhirnya menyerahkan kepada senior atau alumni
Sehingga ketidak berdayaan keamanan menyebabkan anak harus menjalani pekerjaan selama 24 jam mengawasi teman temannya. Tentu sangat tidak rasional untuk anak bekerja selama itu, sehingga anak anak yang ditugasi keamanan, menjadi sangat sensitif, ketika menerima laporan kekerasan atau pelanggaran, akibat tanggung jawabnya yang melebihi jam. Beban berlebih itu akhirnya di lampiaskan kepada mereka yang melanggar.
Belajar dari pengalaman KPAI melakukan asessment, bahwa anak anak yang melakukan kekerasan, dulu nya juga mengalami trauma yang sama. Jadi bullying ini sifatnya berulang, mergenerasi, karena emosi jadi sangat mudah menular. Dan karena anak peniru, diikuti, tanpa memikirkan resiko. Sehingga anak terjebak dalam perlakukan salah para seniornya. Saya kira sistem pendidikan berjenjang, dengan menyertakan para senior sebagai wakil untuk mendidik. Teryata tidak efektif, korban terus berjatuhan akibat cara ini.
Isu bullying, juga sangat berhubungan erat, dengan kondisi kesehatan jiwa anak, Untuk itu Undang Undang Pendidikan dan Layanan Psikologi dalam penyelenggaraan layanan psikologi yang layak untuk anak, perlu segera membangun roadmap, dalam rangka mengurangi bullying di pesantren.
Kemudian situasi anak di sekolah, pesantren, keluarga, lingkungan, harus lah di jembatani. Agar ada respon yang sama terkait riwayat pengasuhan anak. Negara harus intervensi, jadi tidak terputus. Bayangkan di persoalan Kediri ini, anak minta tolong, tapi sistem tidak hidup, keluarga bingung harus kemana, karena seperti terputus hubungan dengan pesantren ketika sudah menyerahkan anak. Untuk itu kita berharap Kementerian Agama memiliki hotline yang hidup 24 jam, yang didalamnya ada mitigasi, tim reaksi cepat yang dapat segera diakses ketika santri ketakuran, merasa terancam, atau mendapatkan berulang perlakukan bullying atau kekerasan tadi.
Kita berharap ada fasilitas hotline perlindungan anak di pesantren, yang tombolnya bisa langsung ke orang yang paling bertanggung jawab. Kementerian Agama kita harapkan punya gugus tugas penanganan, saya kira bukan alasan, missal tidak ada ijin pendirian atau ijin operasional, tetapi pesantrennya sudah bertahun tahun, artinya apa kendala penertiban, penindakan dan pengawasan, yang perlu menjadi perhatian semua pihak, agar tidak ada korban anak lagi yang meninggal di pesantren. Kita juga dilaporkan keluhan petugas, saat pengawasan, namun tidak bisa, karena soal ketakutan menyinggung, karena soal pendirinya, turunanya, sehingga perlu solusi dari Kementerian Agama.
Memang akan banyak motif yang berkembang dari para pengantar jenazah pada peristiwa Kediri, karena niatnya menyembunyikan kondisi sesunguhnya. Seperti peristiwa di Rumah Sakit, Yang meminta menerima korban, namun ditolak karena sudah meninggal, kemudian membiarkan jenazah dalam kamar santri dengan hanya ditutup sarung, (seolah olah) tidak terjadi apa apa. Kemudian membuat alasan penyebab kematian jatuh di kamar mandi, terakhir mengajak keluarga terdekat untuk mengamini cara berfikir para pengantar jenazah.
Memang kita melihat sejak awal ada pemufakatan jahat, untuk menutupi dan menghindari hukum. Artinya KPAI melihat lebih jauh, bahwa senior senior ini, banyak menyimpan rahasia (apa yang terjadi selama ini di dalam pondok). Banyak peristiwa yang bisa di dalami oleh kepolisian, apa yang terjadi disana, tidak hanya peristiwa ini.
Kita perlu membangun analisa dan mendalami peristiwa. Dalam rangka bukan kearah negatif, tapi kita ingin benar benar menggali akar kekerasan yang ada di pesantren tersebut. Agar cita cita pendiri peseantren dan penerusnya dapat terus mulia, sesuai visi dan misi pendidikan nya.
Situasi pencegahan kekerasan, juga berhadapan dengan referral system atau system rujukan perlindungan anak yang masih berorientasi pada pasca peristiwa kekerasan. Sehingga banyak kebijakan, program, anggaran lebih tersedot pada pemadam kebakaran dampaknya, tergopoh gopoh ketika sudah menjadi peristiwa kelam dan memilukan.
Kita tidak akan pernah bisa mencegah, ketika tidak pernah ada yang merasa bertanggung jawab, tidak ada yang mau menjadi pelopor, tidak ada yang mau menjadi pelapor, karena tanpa itu, kita hanya tinggal menghitung waktu untuk menyaksikan peristiwa yang sama
Kita ingin pemerintah jangan terlambat ya, mengawasi pondok pesantren Al Quran, Rumah Tahfidz yang memang menjadi TKP peristiwa, apalagi di ungkap Kementerian Agama tidak ada ijinnya, tapi bisa berjalan sekian tahun, tentu menjadi keprihatinan bersama. Untuk itu mari tertibkan, tentu dengan persuasif ya, karena disana ada anak anak. Tapi sekali lagi jangan sampai telat.
KPAI melihat sumber daya manusia yang besar di pesantren, dapat menjadi kekuatan pengawasan bersama sama, dalam melindungi anak. Dengan menekankan pendidikan partisipatif pada anak anak disana.
Apalagi semua pihak mau duduk bersama dalam mengungap kasus ini, tentu akan sangat baik untuk anak anak yang masih di pesantren, dan punya harapan besar akar kekerasan bisa di putus dari tempat TKP pesantren, agar bisa sukses meraih masa depannya bersama pesantren.
Mari jadikan peristiwa ini menjadi peluang untuk memutus mata rantai kekerasan, tidak hanya takziyah di kematiannya, tetapi tegas menjadi konsensus bersama menolak kekerasan dalam pendidikan santri. Sehingga harapan dari para orang tua korban, yang berkali kali peristiwanya, dan berkali kali dinyatakan para orang tua korban, bahwa “cukup anak saya” benar benar terwujud dan tidak terulang kematian di dalam masa pendidikan pesantren.
Salam Cinta Pesantren,
*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
Alumni Pesantren
CP. 0821 1219 3515