Bagikan Juga

Berbicara pengasuhan sebagai pemenuhan hak anak, masih menjadi tantangan besar di negara kita. Meski negara sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak tahun 1990. Namun pemenuhan soal pengasuhan anak masih perlu payung kebijakan yang lebih komperhensif. Karena mem prasyaratkan berlangsungnya dimanapun anak berada.

Media merekam beberapa peristiwa yang belakangan baru terjdi, yang bisa kita potret langsung. Yaitu kekerasan 2 bayi di Daycare Depok, kekerasan 2 bayi sampai koma di Jakarta Utara, 861 persoalan bullying di lembaga pendidikan yang dicatat KPAI, anak umur 2 tahun terlindas mobil di tanggerang Selatan, anak berusia 6 tahun tewas karena tanpa pengawasan main di air di Bekasi, Ibu di Bekasi dan Tanggerang Selatan melakukan pencabulan anak kandung karena kepentingan jual konten dan kekerasan seksual kepada beberapa anak di rumah ibadah pada Mei 2024 di Cengkareng Jakarta Barat.

Dari rentetan peristiwa tersebut, kita belajar, bahwa situasi pengasuhan anak sudah tidak seperti dulu dan artinya kebijakan yang ada sudah tidak memadai atau perlu di revisi bahkan ditambahkan. Hal hal yang tak pernah terfikirkan kini terjadi.

Kemudian dari beberapa peristiwa, anak seringkali berada dalam situasi kekerasan dalam rentang yang panjang. Seperti kasus daycare anak berhadapan dengan ancaman kekerasan dalam waktu yang panjang. Dan anda semua terbayang, itu harus dialami bayi umur 2 tahun dan 7 bulan.

Meski sudah ada perhatian masyarakat kepada kekerasan anak, begitu juga profesi atau lembaga yang diharapkan menanganinya, namun pada kenyataannya ketika mendengar, merasa, melihat kekerasan anak apalagi bayi, tidak ada hal yang bisa memaksakan sistem untuk bergerak menolong. Atau memposisikan para profesi untuk punya kewenangan intervensi langsung. Ada juga temuan, mereka mau melakukan intervensi, tapi selanjutnya akan di bawa kemana? Sehingga butuh jawaban cepat, seperti tersedianya manajeman kasus, supervise kasus dan manajemen merujuk. Karena menjadi hal yang tak mudah di jawab, ketika respon langsung di lapangan. Butuh lembaga yang fokus bisa memberi asistnsi dalam penanganan kasus, menjadi lembaga supervisi bagi mereka yang membutuhkan.

Seperti di pengasuhan pada anak yang berada dalam lingkaran hukum, penjara, tahanan, imigrasi, rumah sakit, sekolah, pesantren, lembaga, tempat kursus, interaksi ruang digital, semua adalah model pengasuhan. Dan untuk pengasuhan alternatif bicara jenjang perwalian.

Dari rekaman beberapa peristiwa KPAI mencatat, ketika ada kekerasan di tahanan kepolisian dan terungkap ke publik, kita tidak punya kewenangan dan mendeteksi atau masuk langsung.

Misal pekerja sosial atau masyarakat pemerhati anak, ketika melihat tetangga melakukan kekerasan. Namun tetap tidak punya kewenangan intervensi langsung, Meski saya mampu dan bisa

Ketika melihat kekerasan di panti berbasis agama, meski punya kemampuan mengintervensi panti untuk tidak melakukan kekerasan, juga intervensi anak dalm rangka mengurangi dampak buruk. Tetapi saya tidak punya kewenangan, dengan tiba tiba saya datang.

Misal ada kekerasan di detensi imigrasi, saya hanya mendapatkan laporan tapi kewenangan untuk masuk tidak bisa.

Misal di area bencana, ada pekerja sosial, lalu di tenda ada kekerasan di pengungsian, maka akan sulit masuk untuk intervensi.

Masyarakat yang mengasuh atau diserahkan anak (begitu saja), namun tidak ada jaminan pengasuhannya, posisi hukum pengasuh, sehingga sangat rentan dalam proses pengasuhannya, di tekan dan di kriminalisasi.

Untuk itu pilihannya, Kita harus punya teknik agar mereka yang diserahkan anak mengerti pengasuhan, agar tidak hanya menjalankan bisnis as usual, kedisiplinan, atau menahan, atau melakukan penekanan hukum. Artinya ada prasyarat pengasuhan semesta, dimana para pendidik, pengajar, guru agama sadar akan posisinya, kemudian di dukung semua pihak untuk melakukan respon yang sama, sejak mereka terlepas dari keluarga inti.

Misal untuk anak anak berhadapan dengan hukum dan berkonflik dengan hukum, yang di yakini anak berada disana, akibat diri bayi, balita dan anak mudah di kuasai secara fisik, pemahaman dan emosionalnya. Kalau instrument Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak gagal membaca riwayat pengasauhan anak dan tidak mengenal jiwa anak, maka akan gagal pendampingan anak dan kecenderungan peristiwa buruk akan berulang.

Karena untuk mengasuh anak ibaratnya membutuhkan orang sekampung, karena anak dapat terawasi ketika di depan mata kita, namun sedikit saja anak bergeser, maka sesungguhnya sudah tidak terawasi, apalagi fokus kita berubah. Maka ada tuntutan peran pengganti.

Semua orang yang bekerja dengan anak, artinya dititipkan fungsi pengasuhan layak. Sehingga ada tuntutan melakukan respon yang sama. Sebagaimana mandat Undang Undang Perlindungan Anak ketika anak terlepas dari orang tua, maka yang mengambilnya harus memiliki standard pengasuhan yang layak.

Apalagi tren nya kita sering menitipkan soal pengasuhan anak karena berbagai sebab dan alasan, tak bisa di hindari. Sehingga memper prasyaratkan orang yang dititipkan memiliki cara pandang tumbuh kembang anak, memiliki kapasitas dalam memahami perkembangan jiwa anak. Sehingga ada kekuatan dan respon yang sama dalam menghadapi persoalan yang dihadapi anak.

Dari tulisan di atas tadi, kita sadar. Bahwa berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi pada anak belakangan ini, persoalan paling ujungnya adalah sejak fungsi pengasuhan anak berpindah, tidak terdeteksi dini, dan terlepas karena berbagai sebab. Meskipun mereka tinggal satu atap.

Apalagi ketidakmampuan menjawab itu, disertai dengan tidak adanya perhatian, karena sudah sibuk dengan persoalan memenuhi kebutuhan dasar hidup dan rumah tangga. Yang tak terhindarkan. Maka tentu ketika tidak terawasi, maka anak anak akan bertumbuh dan berkembang ke hal hal yang tidak kita inginkan. Sehingga mereka mudah mendapatkan perlakuan salah.

Sehingga pilihannya bagi negara adalah memiliki kebijakan pengasuhan semesta. Yang berarti tidak cukup hanya Undang Undang Perlindungan Anak, tetapi harus di lengkapi dengan di syahkan nya RUU Pengasuhan Anak. Artinya kita memerlukan kebijakan pengasuhan semesta.

Dari kisah daycare yang melakukan kekerasan saja, kita bisa mengambil pelajaran penting, bahwa kekerasan yang berlangsung dalam rentang yang cukup lama, tidak bisa langsung di respon, di sadari berbagai pihak. Padahal bayi sudah menunjukkan penolakannya, lingkungan sekitar juga mengetahuinya (dengan adanya yang melapor). Namun kenapa harus dalam waktu yang cukup lama, sehingga semua tersadar ada kekerasan disana.

Kita boleh saja mengingkari hal tersebut, atau beralasan banyak hal, sehingga ada faktor kelalaian dalam pengasuhan.

Sehingga dalam diskusi KPAI dengan legislator, kami berdiskusi tentang pentingnya pengasuhan sebagai pemenuhan hak. Kalau tekniknya bagaimana pengasuhan berlangsung baik itu pada profesi. Sehingga Konvensi Hak Anak melihat kluster pengasuhan keluarga dan pengasuhan alternatif ini degan pendekatan HAM. Sehingga pendekatannya melalui per Undang Undang an

Kalau teknik mengasuhnya saat ini kita punya ahli parenting, pekerja sosial, psikolog, dokter, dosen, mahasiswa lulusan ilmu keluarga, hanya itu semua adalah pendekatannya profesi. Namun untuk memastikan mereka sehari hari mendapatkan pengasuhan yang layak, perlu pendekatan HAM dalam pemenuhannya

Kita bisa menganalisa 2 pernyataan ini; Satu adalah pendekatan HAM hak anak atas pengasuhan, kemudian Kedua adalah pendekatan profesi tentang teknik mengasuh yang baik.

Di pendekatan HAM, hak anak adalah mendapatkan pengasuhan yang baik, begitupun kalau orang tua tidak mampu, pemenuhan hak asuh yang layak itu dipastikan tetap berlangsung. Sedangkan pendekatan teknisnya adalah pendekatan profesi dengan asessmen. Sehingga pendekatannya berbeda.

Saya akan menyampaikan lebih jelas lagi, dengan beberapa contoh, agar kita bisa membedakan. Pertama Anak Terlantar, maka terlantar itu ada HAM yang harus nya di penuhi. Sedangkan mencegah terlantar ada profesi yang secara Teknik mencegah anak tidak terlantar.

Contoh selanjutnya, pemenuhan pendidikan itu HAM hak anak atas Pendidikan, namun profesinya teknik mendidik yang baik ada guru dan sebagainya.

Kemudian misal, pemenuhan Hak anak atas kesehatan itu HAM, namun pendekatan profesinya atau teknik menyehatkan anak, kita punya bidan, dokter, farmasi, sanitarian. Atau ada pendekatan profesinya dalam teknik mencegah anak pulih, terhindar dari penyakit menular

Maka kalau menjelaskan pemenuhan hak pengasuhan, sudah seharusnya negara mulai beralih ke Konvensi Hak Anak yang berbasis HAM. Yang ujungnya kita bisa melahirkan payung kebijakan, melahirkan Undang Undang dengan mensyahkan RUU Pengasuhan Anak.

Indonesia dalam berbicara pengasuhan anak, digambarkan targetnya melalui RPJMN dengan visi meningkatkan ketahanan keluarga, yang dalam Konvensi Hak Anak masuk dalam kluster lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif

Ketahanan Keluarga banyak dioperasionalkan melalui program BKKBN. Antara lain kebijakan itu adalah soal ketahanan keluarga pada pengasuhan, sosial dan ekonomi. Namun bagaimana pengasuhan anak bisa berlangsung dimanapun anak berada. Maka sebenarnya lebih tepat kita bicara pengasuhan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, dalam konsepnya KHA.

Meski Indonesia memiliki Peraturan Pemerintah nomor 44 tentang Pengasuhan Anak dan Undang Undang Nomor 35 tentang Perlindungan Anak yang dalam pasal 38a minta ada pengasuhan berbasis lembaga (last resort). Tetapi masalah sesungguhnya persoalan anak hari ini karena kita tidak menggunakan pendekatan HAM, sehingga kurang komperhensif.

Sehingga ketika pengasuhan anak kita mulai bicara berbasis HAM, maka muncul kepastian, misal siapa yang seharusnya punya kewenangan supervisi anak dalam penjara ?, Anak dalam imigrasi butuh pengasuhan, siapa yang menyediakan? Anak yang tidak mau belajar, perlu pendekatan psikolog tumbuh kembang dan pengenalan kejiwaan anak? Selama ini kita kurang menyadari hal itu.

Saya akan coba menjelaskan kembali, misal teknik mengasuh dalam penjara akan di ajarkan oleh peksos, tetapi siapa yang mengasuh dan memiliki hak mengasuh? Padahal kita tahu mendekati anak anak dalam perlindungan khusus perlu keterampilan khusus, jika hanya di dekati dengan pendekatan profesi, maka pengasuhan yang membangun kepercayaan, kelekatan, ada bounding, permanen tidak terjadi. Yang kita yakini, tidak terjadi permanensi pengasuhan yang layak. Hal ini terungkap dalam survey KPAI, bahwa lembaga tidak tuntas dalam melakukan rehabilitasi anak.

Jadi kita berharap visi RPJMN terhadap ketahanan keluarga, harapannya tidak meluas ke unsur ekonomi. Tetapi benar benar fokus ke perlindungan anak ketika dalam pengasuhan, ketika dalam keluarga.

Kenapa? Dalam prakteknya, di kehidupan sehari hari, ada fenomena keluarga miskin yang sukses anaknya, lalu ketahanan ekonominya lemah tapi secara ekonomi pengasuhannya baik. Kalau kita cari di medsos berita berita seperti ini tergambarkan.

Karena anak yang lemah pengasuhan akan menyebabkan anak mengalami kelemahan mental. Kita mendorong bagaimana ketahanan keluarga dibangun dari keluarga aslinya. Adapun sekarang saat ini kenapa keluarga terlihat lemah, karena semua lebih terfokus ke panti atau lembaga alternatif pengasuhan, bukan merevittalisasi lembaga, meningkatkan lembaga menjadi suervisi keluarga, sehingga mereka lebih kuat pelayanan parenting skill, konseling anak dan ortu. Itu semua bisa dipastikan, kalau kita memiliki kebijakan setingkat Undang Undang.

Kita dalam pengasuhan, juga menghadapi isu besar, perindahan anak. Yang seharusnya ada konsesus negara dan adat hadir. Saat ini perwakilan perpindahan pengasuhan, negara memiliki pekerja sosial yang ditugaskan mengawal. Lalu apakah ini dianggap selesai semua persoalan? Sekali lagi kita jangan terjebak pada profesi, tetapi pada memastikan pemenuhan pengasuhan anak secara HAM. Sehingga Anak dimanapun berada punya hak pengasuhan dan anak harus selamat. Itu HAM. Tetapi cara selamatnya itu profesi

Mengapa Konvensi Hak Anak pasal 19 berbunyi melindungi anak dari kekerasan ada di kluster pengasuhan, karena ada 2 pengertian. Pertama karena pengasuhan itu sama dengan perlindungan, Kedua orang tua itu punya hak mendapatkan pendidikan cara mengasuh anak. Saya katakan ‘tidak ada orang tua jahat, yang ada orang tua tidak tahu cara mengasuh anak.

Contoh yang sering kita lihat dalam perilaku orang tua sehari hari, misal orng tua membentak anak, karena itu efektif menghentikan anak dengan relasi kuasa, tetapi kita tidak sadar itu merusak mental. Apalagi sampai dipukul, misalnya. Maka dalam RUU Pengasuhan melihat sampai kesana, sehingga mengatur parenting program.

Sebenarnya sejarah naskah akedemik RUU Pengasuhan Anak sudah dimulai pada tahun 2013, beberapa hal krusial juga disampaikan dalam rancangan Undang Undang ini, seperti cara memindahkan anak dari keluarga yang melakukan kekerasan. Dari keluarga inti ke pengasuhan alternatif. Yang memang harus diatur dalam Rancangan Undang Undang ini. Kemudian teknik mengambil anak dalam keluarga yang melakukan kekerasan, ke keluarga yang ramah, juga diatur.

Dengan terjadinya kekerasan di Daycare, saat ini semua orang bicara tentang pengasuhan, yang kemudian berujung mencari dimana tempat Daycare mengasuh yang baik, itu benar tapi tidak lengkap. Jika terjadi kekerasan, bagaimana negara bisa mengintervensi dalam waktu cepat. Ini yang belum di jelaskan dengan lengkap. Sehingga kita diajak teredukasi bagaimana menghadirkan pengasuhan yang layak untuk semua anak, jika tidak di payungi dalam kebijakan, agar meyentuh kepada semua anak, Sehingga pentingnya masyarakat mendorong kebijakan lebih komperhensif.

Misal saya peksos mengintervensi keluarga pejabat yang penuh kekerasan, itu tidak bisa. Untuk Teknik mengatasi luka batin anak, bisa melalui assessment, tetapi untuk mencegah anak terluka batinnya, substansinya adalah HAM. Sehingga kita perlu payung kebijakan dalam memastikan pengasuhan semesta terus di dukung semua.

Negara punya target dalam RPJMN, seperti penurunan angka kekerasan anak, angka pekerja anak angka perkawinan anak, angka stunting, angka eksploitasi ekonomi dan komersialisasi anak, menurunkan angkat prevalensi perokok anak. Namun di sisi lain juga masih ada persoalan anak anak yang diperkerjakan karena alasan kemandirian, pendidikan, tidak memiliki orang tua, sehingga banyak di bantu. Anak bisa grats tinggal disana, tetapi kita belum bicara, apakah tumbuh kembangnya terganggu, kesehatannya terganggu nggak? Itu juga persoalan berikutnya. Sehingga penting persoalan yang saat ini terjadi, dilihat akar masalahnya. Dengan negara segera men syahkan RUU Pengasuhan Anak.

Salam Hormat,

Jasra Putra
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515


Bagikan Juga