Kita kembali dibuat shock, dengan peristiwa nekat yang di lakukan Ibu KU kepada 3 anaknya. Namun untuk mengetahui akar masalahnya, Kepolisian setempat meminta waktu seminggu, karena kondisi Ibu yang belum stabil, begitupun suaminya yang belum mau bicara, namun meminta dukungan.
Namun sebelum peristiwa tersebut, yang membuat miris adalah alasan Ibu KU yang melakukan itu dengan alasan sayang dengan keluarga, baik suami maupun anak. Dengan berbagai alasan yang sangat satir dan getir untuk kemanusiaan, seperti alasan melakukan itu agar anak anaknya tidak susah sepertinya, trauma Ibu KU yang merasa sejak anak tidak mendapatkan kasih sayang (sehingga pantas mendapatkan itu) dan ia tidak ingin itu terjadi dengan anaknya, kemudian terputus akses ekonomi karena pandemi dan kekhawatiran kebutuhan dasar, sehingga seperti tidak ada jalan keluar. Menjadi depresi berat, yang membuat pilihan mengakhiri hidup anak anaknya. Sebegitu beratkan trauma keluarga kecil ini? Apakah sebegitu aib permasalahan itu, sehingga tidak bisa menceritakan kepada siapapun, tidak bisa curhat kepada siapapun, tidak punya ruang sosialisasi.
Lalu bagaimana dengan interaksi ketiga anaknya di masyarakat dan teman sebayanya atau bahkan sekolah dan lingkungan, Apa sama sekali tidak tertangkap atau terdeteksi lingkup sosialnya. Padahal kalau kita lihat keluarga tersebut tinggal bersama sama dalam satu atap, tetanggapun berdekatan. Tentu tidak bisa di potret hanya hari ini, atau ketika peristiwa, karena peristiwanya di kabarkan telah berlangsung lama. Lalu bagaimana dengan banyaknya program pemerintah di lingkungan terdekat, apa tidak ada sistem, kebijakan, program, implementasi berbagai stimulant, yang bisa menyentuhnya? Tentu anak anak sudah lama memanggul kecemasan, dari kondisi keluarganya dan bertaruh nyawa. Pantaskah anak anak itu dibebani masalah orang tuanya?
Andai pandemi menjadi endemi pun dampak tersebut kelihatannya akan tetap berbuntut panjang, karena keragaman situasi kemampuan keluarga. Namun disisi lain, sebegitu lemahkan kohesi sosial kita, budaya gotong royong, empati atau kepedulian kita, sehingga permasalahan kebutuhan dasar sama sekali tidak ada yang memperhatikan. Padahal begitu banyak orang ada di sekitar mereka? Apa yang terjadi sebenarnya kepada keluarga ini. Di bilang keluarga tertutup, tapi di dalam satu atap ada saudara, ada tetangga yang dekat, pemukiman juga nampak berdekatan.
Memang dalam survey KPAI dan Pengaduan KPAI, dampak panjang ikutan pandemi benar benar terjadi di keluarga, dampaknya kadang diluar perkiraan, seperti yang kita lihat di keluarga Ibu KU. Bahwa selama pandemi 2021 KPAI mencatat 2971 masalah anak terkait pengabaian pemenuhan hak anak, yang dominan terjadi di dalam pengasuhan (baik yang berada di dalam keluarga maupun yang di luar keluarga) dengan total 2281 kasus. Dan data ini diyakini data fenomena puncak gunung es, karena tidak semua orang berpandangan hal sama tentang kekerasan anak, dan harus mengadukannya. Apalagi data yang menganga 30.776 anak yatim piatu karena orang tua meninggal Covid.
Kita disadarkan begitu banyak anak kehilangan orang tua. Tetapi setelah KPAI dalami dengan kunjungan data data tersebut, ternyata bukan hanya kehilangan, ada dampak psikologis yang berkelanjutan dan berpotensi semakin berat. Bahwa yang kehilangan ternyata bukan hanya anak, tetapi bisa salah satu pasangan (suami atau istri), kakek, nenek, figur keluarga, tulang punggung keluarga.
Kami menjumpai salah satu kasus yang membawa dampak luar biasa pada seorang Ibu, yang mirip mirip masalahnya dengan Ibu KU. Ketika sang Ibu tidak bisa mendekati anak sama sekali pasca ayahnya meninggal Covid. Anak sama sekali tidak mau berinteraksi dengan Ibunya, sehingga ibunya memilih bunuh diri. Niat itu semakin kuat, setelah ia berusaha berusaha bangkit dengan berjualan, hanya ternyata merugi. Trauma selama hidupnya bangkit kembali ‘yang merasa hanya bisa menjadi Ibu Rumah Tangga’ dan merasa tidak bisa berbuat apa apa dengan anaknya ‘yang hanya ingin ayahnya’.
Namun niat itu tidak sempat terjadi, setelah kami mendapat laporan ada Ibu yang akan melakukan bunuh diri, sehingga kami mendalami dengan metode tertentu. Yang ternyata berhasil menjembatani komunikasi ibu dan anak. Namun itu baru permulaan, karena kondisi berat berbanding lurus dengan kebutuhan pendampingan panjang, Sehingga kami mencari akses sistem sumber terdekat untuk mendukung keluarga tersebut, syukurnya ada sebuah organisasi yang bersedia.
Apakah semua data keluarga sudah dipetakan? Atau masih ada keluarga seperti Ibu KU? Karena dari yang dilaporkan media, keluarga Ibu KU mengalami PHK karena pandemi, sehingga pindah ke kampung. Kehidupan yang selama ini di kota, berubah drastis, dan terus mengalami penurunan, seperti kehilangan daya adaptasi, seperti tidak bisa di intervensi oleh program apapun, baik berbagai stimulant kebijakan yang menjadi program untuk masyarakat terdampak pandemi, apalagi akses seperti psikolog. Karena kita ketahui dampak paling tersembunyi dan besar adalah dampak kejiwaan, apalagi dengan keluarga keluarga rentan yang masih berfokus pada kebutuhan dasar, tentu masalah kejiwaan tidak menjadi perhatian.
Tapi kalau kita mau melihat problem lebih dalam pada akar masalah, ada yang sering terlupakan, bahwa sebenarnya pengasuhan yang sedang kita tunjukkan kepada anak anak adalah pengasuhan warisan dari orang tua kita jaman dahulu. Bahkan sudah meregenerasi turun temurun yang tidak pernah kita rubah. Padahal kebutuhan mengasuh para orang tua harusnya berkembang, yang harus beradaptasi dengan perkembangan jaman. Selintas mungkin sebagai orang tua kita akan bilang “Ah, terlalu sibuk. Untuk kebutuhan sehari hari saja masih belum bisa dipenuhi dengan layak, apalagi memahami psikologi perkembangan anak, mungkin tidak semua orang tua mengerti.
Untuk peristiwa Ibu KU, kita berfikir apakah dalam pembunuhan anak tidak ada perlawanan? Tetapi itulah kenyataan wairsan pengasuhan yang berdampak ke psikologis anak, Sehingga menempatkan anak anak yang tidak mampu melawan. Mereka terlalu kecil untuk bisa melawan. Apalagi ketiga anak Ibu KU yang menghadapi gangguan perilaku Ibunya, kita membayangkan saat cutter itu menyentuh anak anak.
Akibat kondisi tersebut, kita banyak dihadapkan data kekerasan anak sejak masuk tahun 2022, yang penyebabnya karena pandemi, seperti guru yang menghukum muridnya tanpa sadar sampai meninggal di NTT, hanya karena alasan tugas sekolah tidak di kerjakan kertika pandemi, sehingga melakukan penganiayaan, kemudian perkosaan 12 santri yang terungkap selama pandemi yang dilakukan pimpinan boarding school di Jawa Barat, dan mungkin kalau kita tulis semua kasusnya disini, hanya semakin akan memperlihatkan anak anak yang tanpa pertolongan dan menunjukkan begitu beratnya dampak pandemi kepada gangguan perilaku yang dialami sebagian masyarakat. Dan kondisi ini akan semakin rentan, ketika mereka bekerja dengan anak atau bersama anak, karena kalau tidak terdeteksi gangguan perilaku ini, anak bisa menjadi obyek pelampiasan. Lalu, apayang bisa kita lakukan untuk mencegah anak anak berada dengan orang dewasa seperti ini?
Situasi pencegahan ini, berhadapan dengan referral system rujukan perlindungan anak yang masih berorientasi pada pasca peristiwa kekerasan. Sehingga banyak kebijakan, program, anggaran lebih tersedot pada pemadam kebakaran dampaknya. Sehingga perkembangannya lebih banyak di luar lembaga keluarga.
Namun ketika melihat angka kekerasan yang besar ini dan dampak mereka yang kehilangan, dengan melihat setiap keluarga, pertanyaannya, sejauh apa keluarga mengerti system referral, seperti ketika menghadapi masalah anak dan membutuhkan peningkatan keterampilan pengasuhan untuk menghadapinya, melaporkan kekhawatiran kebutuhan anak, ruang konseling keluarga. Sebab itulah kita lebih banyak di pengembangan referral System ketika terjadi kekerasan. Namun sulit menggapai deteksi pencegahan, yang salah satunya mengakses ahli kejiwaan atau psikolog.
Karena latar belakang tersebut, begitu tertinggalnya lembaga keluarga dibanding lembaga lainnya. Bagaikan menjadi hutang peradaban, dalam mewujudkan pengasuhan berbasis keluarga yang panjang dan berkelanjutan. Kita lebih melihat edukasi pemberitaan tentang hukuman bila orang tua melakukan kekerasan di keluarga. Kita lebih sering mendengar pemberitaan, ungkapan kasus, media, komentar, tentang orang tua yang melakukan kekerasan dalam keluarga di hukum. Ini yang kurang berimbang informasinya.
Tapi ketika orang tua kebingungan, dimana bisa menjawab permasalahannya, seperti meningkatkan keterampilan pengasuhannya, membahas kenapa kekerasan itu terjadi, apa yang terjadi dengan orang tua, kita masih tergagap menjawabnya, dengan profil contoh contoh keluarga tadi. Kita merasa gagal, dengan ribuan intervensi dan stimulant yang ktia punya. Kita seperti kehilangan jejak, apa yang salah selama ini.
Sehingga Referral System’ lembaga keluarga belum popular, bahkan mungkin belum ada dibeberapa daerah semisal Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga). Yang ada sekarang referral System ketika terjadi kekerasan, sehingga munculnya lebih pada dominan penghukuman dan sanksi, ini sangat tidak seimbang dan tidak layak, jika terus dibiarkan. Harusnya ada informasi yang jelas di setiap keluara, dimana harus melapor, ada stiker yang bisa menginformasikan dari dalam rumah. Harusnya tempat ini yang diperbanyak. Sehingga tidak mengedepankan hukum pidana tapi hukum perdata.
Karena kebutuhan pengasuhan adalah setiap hari, tentunya harus ada panduan terdekat. Tapi masih sulit diakses di daerah, meski ada akses online, namun tidak semua keluarga paham teknologi, ada infrastruktur teknologi dan disrupsi informasi di keluarga. Yang harus mulai pelan pelan di atasi. Sehingga peristiwa kegagalan pengasuhan bisa di cegah sejak dini.
Jadi sistem yang ada, belum bisa di gapai setiap keluarga. Itulah mengapa kita perlu mengatur bersama, di tengah beragamnya problematika pengasuhan, apa saja yang bisa di atur, dan apa saja yang tetap bisa dipertahankan. Undang Undang Perlindungan Anak dan PP Pengasuhan Anak sebenarnya telah mengatur soal pengasuhan, tetapi masih belum cukup.
Kita tidak akan pernah bisa mencegah, ketika tidak pernah ada yang merasa bertanggung jawab, tidak ada yang mau menjadi pelopor, tidak ada yang mau menjadi pelapor, karena tanpa itu, kita hanya tinggal menghitung waktu untuk menyaksikan peristiwa yang sama. Belajar dari negara Thailand yang memberi sanksi jika pemimpin lokal tidak melaporkan ada kelahiran dalam sebulan , juga di negara Australia ada penanggung jawab yang memperhatikan kulkas keluarga untuk mewajibkan adanya nutrisi dan gizi anak berada disana. Sepertinya negara tersebut lebih bisa mengurangi kekerasan dari ruang keluarga, dan langkah kecilnya memberi dampak pencegahan panjang untuk anak anak mendapatkan perlakuan salah. Rasanya kita masih belum benar benar memusatkan lembaga keluarga sebagai yang paling berhak menerima edukasi dari peraturan tersebut. Sehingga sangat memerlukan regulasi pengasuhan anak yang bisa memayungi kearifan kearifan lokal kita, dalam mengembangkan akses sistem sumber lembaga keluarga.
Terakhir saya ingin menyampaikan apa yang diinisiasi Ibu Bintang Menteri KPPPA dengan slogan Pelopor dan Pelapor, untuk menghentikan kekerasan perempuan dan anak. Saya kira pesan ini benar benar harus dilanjutkan agar dirasakan setiap keluarga. Karena kekerasan itu hanya bisa di cegah dengan “Pelopr dan Pelapor” dari orang terdekat. Maka sebuah keniscayaan bila tidak menyertakan semua partisipasi masyarakat terutama di dalam ruang setiap keluarga.
Hal itu tidak mungkin dilakukan, tanpa kita mendekatkan pesan penting Ibu Menteri tersebut. Dengan memulai menempatkan Tugu Pelopor dan Pelapor di setiap batas desa. Agar masyarakat terbangun awareness Stop Kekerasan Anak.
Karena tanpa ada pelopor dan pelapor dari yang terdekat, kita tidak bisa berbuat banyak. Jadi sebuah keniscayaan untuk menghentikan, mencegah kekerasan anak, jika tidak menyertakan desa, mendekatkan referal di setiap ruang keluarga.
Untuk itu dengan kebutuhan pengasuhan yang beragam dan harus kita jawab hari ini, maka revitalisasi “warisan pengasuhan” menjadi sangat penting dilakukan, dengan menghadirkan RUU Pengasuhan Anak. Sehingga dengan RUU Pengasuhan Anak dan Tugu Pelopor dan Pelapor peristiwa anak terbunuh selama pandemi karena kekerasan tidak boleh disia siakan, perjuangan mereka dalam kesunyian harus di teriakkan dengan momentum mendirikan Tugu Pelopor dan Pelapor dan RUU Pengasuhan Anak, sehingga upaya kegiatan perlindungan anak berbasis masyarakat semakin terpadu, terarah, keluarga memiliki rujukan, petugas memiliki jaminan bekerja, dan para aparat lokal punya tanggung jawab generasi bangsa. Karena kepada siapa lagi anak yang tak bersuara dalam irisan cutter itu harus berharap?
Salam Hormat,
Jasra Putra
Kadivwasmonev KPAI
CP 0821 1219 3515