Melihat fenomena dispensasi menikah yang marak di Indonesia, kita seperti mundur ke belakang lagi, setelah Rasminah bersama kawan kawannya yang dipaksa menikah dini, berjuang habis habisan menaikkan usia menikah di meja legislasi DPR RI. Perdebatan alot dan panjang dilakukan Rasminah dan teman-teman demi memutus mata rantai kekerasan pada korban korban pernikahan dini atau yang ingin menikah dini.
Rasminah menyampaikan sejak umur 13 tahun menikah yang berdampak 4 kali cerai dan kembali berkeluarga. Karena trauma berkepanjangan yang diterimanya selama berkeluarga dengan menanggung 5 anak yang tidak seharusnya diemban seorang anak mengasuh anak. Untuk itu ia memutuskan bangkit melawan pernikahan usia anak dengan dibantu Koalisi Perempuan Indonesia atau KPI berjuang bertahun tahun untuk membuat Mahkamah Konstitusi mengabulkan revisi UU Perkawinan soal usia kawin perempuan. Permohonan itu baru dikabulkan setelah diajukan kedua kalinya ke MK dan dengan perdebatan alot di meja legislasi DPR yang berakhir pasal soal usia perkawinan perempuan dari usia 16 tahun menjadi 19 tahun. Rasminah juga kaget dengan tingginya angka pernikahan dini selama pandemi, padahal ia berharap dengan berubahnya usia perkawinan, mampu memberi kesempatan kualitas hidup anak perempuan, yang harusnya bisa produktif, bukan trauma panjang.
Rasminah menyampaikan untuk orang tua di Indonesia agar tak menikahkan anak di usia dini, melainkan berjuang memberikan pendidikan yang tinggi. Perempuan memiliki peran lebih besar saat mendidik anak, sehingga mereka bisa berperan mencegah terjadinya perkawinan usia anak, serta mengingatkan agar anak bisa dapat mandiri. Dan itu mempersyaratkan perempuan terdidik, begitu juga laki laki. Sudah terlalu banyak anak ditelantarkan karena pernikahan anak, saatnya merubah itu melalui momentum revisi UU Perkawinan tentang usia menikah.
Data Mahkamah Agung Republik Indonesia menyampaikan selama pandemi dari Januari hingga Juni 2020 ada 34 ribu permohonan pernikahan dini. Dan hampir semua dikabulkan dengan angka sekitar 97 persen. Dengan alasan alasan yang dihimpun MA seperti dampak sosial, pola asuh keluarga (anak korban kasus perceraian, anak kurang kasih sayang, anak tidak mendapat perhatian), kesehatan (kondisi mental tak mampu ditangani keluarga, gangguan perilaku yang berdampak ke psikologi sehingga melepas anak, stunting, prematur), ekonomi (alasan mengurangi beban keluarga, alasan ekonomi), paparan akses iformasi, adat dan budaya (karena adat dan budaya yang disalah artikan sehingga membentuk semacam stigma, nilai, kepercayaan dan pelabelan bagi anak yang belum menikah), pendidikan (berhubungan dengan rendahnya pengetahuan, mau teredukasi, dan masalah komunikasi), berlanjut terkait pandangan keagamaan (soal kekhawatiran zina), dan terakhir alasan karena hukum.
Artinya tingginya angka perceraian, tentu saja di dominasi hasil dari pernikahan dini. Pernikahan anak, sering berakhir terlalu bergantung pada orang tua. Dan melahirkan generasi generasi yang sangat rentan dalam segala hal jika terus tidak mendapatkan kehidupan yang layak. Pernikahan dini telah melahirkan anak anak jaman yang terus terancam, rentan mendapatkan perlakuan salah dan mewarisi kembali ajaran pernikahan dini dari generasinya.
Artinya dari 34 ribu pernikahan anak selama pandemi, kita sudah dapat bisa menghitung dari pengalaman Rasminah dan teman temannya, bahwa kita harus siap menghadapi puluhan ribu data anak rentan terlantar baru, alias mudah terlepas dari keluarga karena berbagai sebab. Kita patut khawatir di masa depan, akan berhadapan dengan banyak kasus anak anak, yang dilahirkan dari pernikahan dini, yang terus berlangsung tanpa bisa di cegah.
Resiko kehamilan dari pernikahan dini juga disampaikan oleh Kemenkes tentang resiko tinggi kematian ibu dan kandungannya. Mulai dari kondisi psikologis yang tidak stabil saat mengandung, pilihan aborsi yang rentan beresiko pada alat reproduksi pada kehamilan yang tidak diinginkan bila telat di ketahui kondisi kehamilannya, kelahiran prematur, berat badan bayi rendah, resiko kurang memahami tumbuh kembang janin yang beresiko kelahiran disabilitas, resiko kematian lebih besar saat persalinan karena kondisi alat reproduksi yang belum siap, hal lain yang menyertai seperti aspek kesehatan, mental, emosional, pendidikan, sosial dan ekonomi.
Hal ini menyebabkan anak anak yang terlahirkan mengalami kecerasan emosi yang rendah, yang bila tidak ditangani secara baik sejak awal, anak anak hidup dalam perilaku yang beresiko, dan estafet menanggung akibat jangka pendek, menengah dan panjang yang berujung pada kondisi kesehatan fisik dan psikologis dan sosial nya.
Belum lagi kerentanan perceraian, seperti pengalaman mereka yang menikah dini, yang menyebabkan pernikahan berulang terjadi, dengan minimnya pengetahuan Penyakit Menular Seksual yang dapat menganggu kesehatan reproduksi, bahkan kita tahu fenomena HIV pada remaja terungkap di beberapa daerah dalam situasi yang memprihatinkan. Maka terbayang dispensasi perkawinan bila tidak dicegah sejak awal, akan banyak mendatangkan masalah, yang seharusnya orang tua hadir mengurangi masalah dan membangun atau mengangkat anak dari keterpurukan dengan jaminan masa depan yang lebih baik.
Seharusnya anak anak, mendapatkan pendidikan yang tinggi, bukan pernikahan dini. Karena membesarkan anak membutuhkan itu. Pernikahan dini bukan jawaban, justru bagaimana mereka tetap bisa bersekolah tinggi dan kedepan dapat melanjutkan mendidik anak anak mereka di dalam keluarga. Bahwa perempuan memiliki peran besar didalam pembagian peran pengasuhan bersama pasangannya.
Saya kira para pemegang kebijakan harus konsisten soal ini, dalam mencegah situasi anak anak yang buruk karena pernikahan dini. Artinya generasi yang dilahirkan, akan menjadi beban yang tidak pantas di emban seorang anak yang menikah di umur itu. Makanya cukup aneh, fenomena dispensasi pernikahan, seperti menjebak anak dalam trauma panjang, kalau melihat dari pengalaman yang telah ada. Para orang tua, para pemegang kebijakan harus belajar soal soal ini, agar tidak mengulang kesalahan lama. Saya kira dari total 4683 pengaduan permasalahan anak di KPAI menggambarkan situasi ujung pasca peristiwa hal hal seperti ini. Betapa pentingnya mencegah pernikahan dini.
Bagaimana untuk mereka yang telah hamil. Saya kira penting ada jaminan adanya perlindungan dari keluarga sampai anak tersebut melahirkannya. Pemerintah dan lembaga masyarakat bisa menjadi solusi sementara dalam menyediakan shelter yang aman untuk keselamatan ibu dan bayinya. Namun tantangannya seringkali pada jaminan hak anak lainnya, ketika berpindah pengasuhan, ketika berada didalam shelter, siapa yang memastikan hak anak.
Karena seringkali kasus anak di keluarga, ketika berpindah dalam lembaga layanan, harusnya secara otomatis ada kerja satupintu dalam memastikan anak tetapmendapatkan hak anak lainnya, karena itu kebutuhan dasar anak seperti kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan. Begitupun saat penutupan layanan atau terminasi dengan di kembalikan ke keluarga. Justru keluarga yang tidak siap. Akhirnya anak berada dalam situasi sama kembali, dan akhirnya menikah kembali.
Data MA juga menunjukkan soal cara pandang agama, adat dan budaya, pada pernihakan dini. Seperti kasus terakhir dua anak perempuan yang viral membuang jabang bayi dan menguburnya, kemudian ketahuan masyarakat. Kemudian ramai diberitakan. Menunjukkan ada soal cara pandang agama, adat, budaya, yang harus di dudukkan kembali dalam posisi anak yang telah mengandung bayi.
Tentu saja kita berterima kasih kepada media, yang telah memberitakan kasus anak buang janin bayinya. Tapi persoalan selanjutnya, apakah dengan diberitakan, anak perempuan tadi tidak lebih terpuruk, atau apakah anak perempuan ini adalah korban yang harus di jamin hak hak korbannya. Lalu sebatas apa pemilihan pemberitaan pada kasus kasus seperti ini.
Bagaimana agar anak ketika mengandung tidak merasa aib atau stigma, tapi memikirkan keselamatannya. Ada tempat yang menjamin anak yang dikandungnya, bila kehamilan itu dianggap para ahli harus diteruskan, ada tempat aman sampai persalinan kelak. Sehingga tidak ada lagi masyarakat yang menemukan bayi dibungkus, di kerubuti semut, di tinggalkan di luar begitu saja, kondisi membiru dan meninggal. Tetapi ada perspektif baru, masyarakat yang mendukung keselamatan para korban lebih diutamakan. Dan memperhatikan para ahli berpendapat, pernikahan dini adalah bukan pilihan tepat orang tua, karena justru memperdalam situasi anak anak korban pernikahan dini dan melahirkan generasi yang rentan.
Seharusnya karena perlindungan anak sampai 18 tahun , mereka yang berumur muda menikah, harusnya mendapatkan pendampingan intens sampai 18 tahun, karena mereka masuk kategori perlindungan khusus anak, karena rentannya kondisi pernikahan anak, anak mengasuh anak, dan berbagai faktor yang dijelaskan tadi. Artinya ketika dispensasi dilakukan, tidak menyurutkan regulasi perlindungan anak lainnya. Jika negara mau konsisten dengan berbagai regulasi terkait penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. Jadi tidak bisa dipisahkan harusnya. Agar dampaknya bisa di tekan sedini mungkin dan menyelamatkan anak anak yang terlahir dari dispensasi pernikahan dini dan berbagai sebab perceraian yang ditimbulkan. Artinya kalau dapat dipahami bersama, penting kembali duduk bersama tentang putusan dispensasi perkawinan yang membawa dampak kepada tugas dan wewenang kelembagaan lainnya.
Salam Hormat,
*Jasra Putra*
Wakil Ketua KPAI
CP. 0821 1219 3515
