Video viral di media sosial yang memperlihatkan dua bocah kecil bertarung bebas tanpa pengamanan, membuat khawatir para orang tua. Apalagi pertarungan tersebut terjadi karena paksaan orang dewasa di sekitarnya.
Bocah dalam video tersebut nampak dalam tekanan dan paksaan karena ancaman orang dewasa, jika tidak melakukan tarung bebas itu.
Anak anak yang terpapar sikap kekerasan, seringkali mengalami trauma panjang, yang akhirnya memilih jalan kekerasan sebagai interaksi sosialnya. Berbagai alasan alih alih diterima di pertemanan atau pergaulan, menyebabkan anak melakukannya.
Meski kadang dianggap hanya bermain biasa, namun situasi kekerasan sering terjadi spontan dalam dunia bermain anak, yang dapat beresiko buruk.
Wajah kekerasan yang terjadi di video tersebut, menandakan anak anak meniru cara menyalurkan emosi orang dewasa atau teman sebaya di sekitarnya.
Seperti dalam video tersebut, nampak orang dewasa yang menyalurkan emosi di tempat yang salah, Kegagalan menyalurkan emosi ini akhirnya dilampiaskan kepada bocah kecil, dengan memaksa tarung bebas, meski hanya sebuah candaan, namun ini menjadi penyaluran emosi yang sangat membahayakan. Karena biasanya, setelah terjadi fatality, sering menjadi saling lempar tanggung jawab, penyesalan, bahkan dari dampaknya lahir kekerasan baru, yang akhirnya menjadi cikal bakal saling balas yang tidak berujung di sekitar hidup bocah tersebut. Yang menjadi sesuatu resiko yang tidak pernah dipahami anak dan kekerasan yang meregenerasi antar mereka. Tentu sangat disayangkan.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia di sepanjang Januari sampai Desember 2021 mendata jumlah korban dan pelaku, yang mencatat ada 2632 korban anak laki laki dan 2784 korban anak perempuan. Kemudian ada 139 anak laki laki dan 56 anak perempuan yang menjadi pelaku kekerasan. Dari laporan yang masuk di Pokja Pengaduan KPAI
Begitupun dalam evaluasi Kota Layak Anak bersama KPPPA, yang seringkali menjadi evaluasi pengawasan adalah Kluster IV di mana mengisi waktu luang menjadi problem utama anak anak. Seperti saat pandemi dan hari libur. Hal ini terungkap dengan muncul tawuran selama pandemi, dan masa Ramadhan kemarin, semuanya berujung pada waktu luang, ketika anak dibangunkan sampai tidur lagi, apa saja yang sudah disiapkan orang tua bersama yang berwenang dan pemerintah. Dalam anak anak memiliki tempat dalam menyalurkan energi sesuai hobby, bakat dan minatnya.
Seringkali kita berhadapan dengan emosi anak yang tidak terkendalikan. Bahkan anak sebenarnya juga memiliki kebingungan menyalurkan energi dan emosinya, sehingga dapat berdampak buruk buat anak.
Mengurangi ancaman disekitar anak, diantaranya dengan dikenalkan emosi anak sejak dini, emosi apa yang dirasakannya.
Dengan dikenalkan cara mengendalikan emosi, terpancing emosi, meluapkan emosi, menyalurkan emosi dengan tanpa merusak atau memukul.
Cara menyalurkan perasaan ini, perlu di perhatikan. Seperti bagaimana mengenalkan kepada anak ‘perasaan apa yang dirasakan orang yang sedang emosi’, menyalurkan emosi dan dampak untuk anak, dan mengenal jenis emosi dirinya sendiri.
Membedakan antara menyalurkan emosi dan ekspresi kekerasan menjadi penting di rasakan anak, karena memiliki konsekuensi yang berbeda, pada kesehatan,tumbuh kembang dan perkembangan jiwa anak.
Jangan mematahkan anak ketika menyampaikan emosi yang dirasakannya, tapi sampaikan bahwa kita memahami dan empati. Hal ini dapat menghindari penyaluran emosi negatif anak, yang mengandung unsur kekerasan, baik secara verbal, non verbal dan fisik. Sehingga rasa emosi yang tidak nyaman itu dapat dikendalikan. Seperti ketika emosi itu disalurkan dengan tidak tepat dengan berteriak teriak, memukul atau merusak.
Biasakan menghadapi emosi anak, dengan merasakan dulu, apa yang membuat anak emosi, sambil menyisipkan pesan pendek yang bermakna yang berhubungan dengan apa yang dirasakan anak. Jangan terlalu lama, tunggu emosi reda, karena anak butuh ruang mencerna ucapan kita.
Jangan sekali kali ketika melihat bocah emosi dengan teriak teriak misalnya, kemudian dibalas dengan suara lebih keras, dengan tekanan, apalagi memukul.
Dalam situasi ini, orang dewasa harus lebih tertata emosinya, segera mengurangi ancaman di sekitar anak yang dapat menambah buruk situasi. Agar dapat memininalisir dampak dan mengurangi dampak buruk.
Jangan terbiasa mengikuti emosi anak dan justru menambah situasi emosi tersebut, dengan sikap sikap diluar kendali.
Ini sebenarnya budaya kekerasan yang diwariskan, karena pemandangan seperti ini terjadi, terutama di daerah, dimana orang tua dan lingkungan kurang pengawasan, banyaknya ruang kurang pengawasan
Di sisi lain kekerasan sebaya dan antar remaja memang sering terjadi, dengan alasan menunjukkan jati diri, superioritas, ‘berani’, ikut kelompok agar merasa dilindungi.
Kemudian situasi lepas sekolah dan mengisi kegiatan liburan, dan ketika waktu luang, masih menjadi persoalan utama anak anak berada di tempat yang salah.
Mereka sebenarnya ingin menyalurkan keinginan, bakat dan minat, dan namun karena tidak memiliki tempat yang tepat dan sesuai hobbynya, akhirnya dirampas budaya kekerasan. Yang berujung beresiko berhadapan hukum, bahkan berakhir pemidanaan.
Butuh kesadaran bersama, peran serta kita semua dan lingkungan dalam rangka menciptakan ruang bermain yang aman, ramah dan nyaman untuk anak.
Sekali lagi, anak anak adalah generasi peniru, apa yang kita ajarkan dalam penyaluran emosi, jangan sampai dengan cara yang tidak tepat, selain akan merugikan anak, juga akan mengundang hal buruk kepada anak, bahkan dampak yang lebih buruk pada perkembangan kejiwaannya ke depan.
Salam Senyum Anak Indonesia,
Jasra Putra
CP. 0821 1219 3515
_Kadivwasmonev KPAI